Dalam kondisi politik Aceh saat ini yang semrawut serta tidak menentu, masih ada orang-orang yang gagal nalar atau tidak paham substansi yang sesungguhnya dari pada Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Yaitu Undang-Undang yang berkenaan dengan Pemerintahan Aceh untuk direvisi.
Ini berkaitan dengan masih ada orang “dungu” mengambil kesempatan untuk mengantarkan UUPA guna direvisi dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2025, melalui pengesahan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Inbdonesia (DPR-RI).
Sementara itu selama ini secara terang-terangan UUPA dilanggar, diabaikan serta dikebiri secara politik oleh Pemerintah Pusat Jakarta, sehingga UUPA semakin tidak berfungsi lagi terhadap hal yang substansial, krusial, penting dan banyak pasal dari turunan Memorandum of Understanding (MoU) Perdamaian Aceh Helsinki (2005) yang diusahakan tidak masuk UUPA, juga yang sudah masuk UUPA, bahkan sama sekali tidak dipahami oleh Elite Pemimpin Pemerintahan Aceh, baik eksekutif dan legislative yang tidak tegak lurus maupun komitmen menjalankan serta mengimplementasikan UUPA dalam kehidupan rakyat Aceh.

Hal ini diawali hak politik rakyat Aceh yang semestinya dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh tahun 2002, karena akhir masa jabatan Gubernur Aceh 2017-2022.
Ini sebagai “test case” Pemerintah Pusat Jakarta, ternyata Ekeskutif (Gubernur Aceh saat itu) juga Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sama sekali tidak berdaya, tidak mampu memperjuangkannya sebagai keputusan penting terhadap bangsa Aceh menentukan pilihan politiknya.
Demikian juga, banyak aturan lainnya dalam UUPA, termasuk rujukannya dari MoU Helsinki ternyata setelah ada dalam UUPA, termasuk qanunnya pembagian hasil alam 70-30 untuk Aceh, kemudian berbalik menjadi 30-70.
Semestinya kewenangan mengurus serta mengelola dan menetapkan sumber daya alam alam Aceh terhadap eksplorasi serta eksploitasi oleh kebijakan politik Pemerintah Aceh itu sendiri.
Selain itu yang juga penting secara ekonomi dan kehidupan rakyat Aceh adalah penentuan kebijakan moneter serta tingkat suku bunga uang dan atau memiliki mata uang sendiri (sebagai nadi/darah ekonomi) yang dapat ditetapkan sendiri berlaku di Aceh, ini juga sama sekali tidak pernah terwujud.

Makanya Pemerintah Aceh dalam kebijakan fiskal dan moneter sangat tergantung kepada Pemerintah Pusat Jakarta terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA), sehingga ketergantungan yang demikian tinggi, Pemerintahan Aceh (baik eksekutif dan legislative/Gubernur serta DPRA) sangat mengharapkan kucuran dana dari pusat terhadap belanja publik, Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA), sangat berharap, “mengemis belas kasihan” dari Jakarta termasuk Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang besar (tidak terlalu penting, jika kewenangan mengatur serta kebijakan politik terhadap eksplorasi serta eksploitasi resources/ekonomi Aceh sendiri) supaya mudah diolah, serta berpotensi untuk memperkaya/dirampok para elite pejabat publik Aceh, ekskutif dan leggislatif dibantu para birokrasi Aceh (Aparatur Sipil Negara/ASN).
Makanya semakin tumbuh subur kolosi, korupsi dan nepotisme (KKN), bahkan korupsi yang sudah berjilid diperiksa oleh Komisi Pemerantasan Korupsi (KPK) terhadap elite politik dan pejabat di Aceh semakin dipeti-eskan, menguap tanpa penegakan hukum (law enforcement).
Dengan demikian, kecenderungan terus melahirkan serta dipimpin oleh para pejabat korup berjamaah, para elite semakin kaya rakyat Aceh semakin miskin menderita serta juara miskin se-Sumatera berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) RI.
Sesungguhnya banyak lagi butir MoU Helsinki sama sekali tidak diturunkan mernjadi UUPA selama ini, bahkan tanpa qanun. Hal yang paling mendasar adalah butir “Self Determination”
Aceh ini sama sekali tidak akan pernah dibenarkan oleh Pemerintah Pusat Jakarta, ini sebuah kekhawatiran luar biasa besar berkenaan Aceh, yang memiliki wewenang besar terhadap usaha mengatur sendiri seluruh dimensi kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial, budaya, pemerintahan, sumber daya alam, sumber daya ekonomi dan banyak lagi lainnya. Sehingga perubahan kehidupan yang nyata baik kemakmuran, kesejahteraan, pemerataan, keadilan pada segala sektor kehidupan rakyat Aceh mesti tercapai dan terealisasikan secara benar bahkan nyata. Jadi banyak hal serta persoalan yang tidak tertuang dari 45 butir-butir MoU Helsinki (2005), juga sama sekali tidak diterjemahkan dalam UUPA, bahkan secara sangat kuat politik nasional terhadap MoU Helsinki dan UUPA diberangus dan dihilangkan sama sekali.
Oleh karena itu, para pejabat elite Aceh yang saat ini “mabuk kepayang serta menjilat” ingin menjadi broker revisi UUPA yang sebelumnya juga juga UU tersebut juga disahkan oleh Pemerintah Pusat melalui DPR-RI, agar tidak perlu cari muka dan cari proyek dengan judul “Revisi UUPA”. Jangan seperti seolah-olah melakukan praktik menghadap “tuan” dari para “cuan”. Dimana secara pemahaman dan analisis akademik menunjukkan bahwa politik Aceh dengan pusat saat ini diikat oleh konsep “patron and client”, bahkan bertendensi mengalami “decolonisation” hubungannya seperti “neo-colonialism”, karena semua kebijkan serta ketentuan diatur dan tunduk patuh kepada pusat Jakarta. Sehingga usaha mengantarkan Revisi UUPA tidak lebih hanya praktik menjilat pusat dan mencari “proyek angein pout touh ujeun”, sangat konyol praktik orang-orang elite pejabat dan elite politik Aceh yang mengantarkan draf konsep UUPA untuk disahkan di DPR-RI.
Karena dapat dipastikan bahwa semua akan disahkan sesuai dengan kepentingan negara politik pusat yang berlinbdung dibelakang UUD’45, sebagaimana berlaku selama ini menurut diskusi, diskursus serta dialektika kehidupan rakyat Aceh bahwa, UUPA sudah “mensoh” atau “ka meusawak lampageu”.
Orang-orang ataupun elite politik yang mengantarkan serta menghadap tidak lebih sebagai orang-orang gagal nalar (logical fallacy), termasuk cerita omong kosong “lex specialist” Aceh yang tinggal angan-angan.
Wallahu’alambissawab.
———-
Dr. Taufiq A Rahim
Pengamat Politik dan Kebijakan Publik
