Majelis Adat Aceh (MAA), sebagai salah satu lembaga keistimewaan Aceh, kini seperti mati suri dan terabaikan oleh pemerintah Aceh. Selama tujuh tahun terakhir, meskipun telah terjadi pergantian gubernur, masalah utama MAA tetap belum terselesaikan, termasuk belum adanya Ketua Definitif.
Pada Rapat Kerja (Raker) MAA yang dilaksanakan pada 17 Juli 2024, Menurut Akademisi Universitas Abulyatama Aceh (Unaya) Usman Lamreung, menyebutkan salah satu rekomendasi yang disepakati adalah perlunya melengkapi kepengurusan dan segera memilih Ketua Definitif. Namun, hingga tujuh bulan setelah rapat tersebut, rekomendasi itu belum juga dilaksanakan.
Raker 2024 tersebut yang diikuti oleh unsur MAA provinsi, kabupaten/kota, hingga perwakilan provinsi seluruh Indonesia, telah menghabiskan anggaran APBA, tetapi hasil rapat tetap terabaikan.
Saat ini, persoalan tampaknya bukan lagi pada gubernur, melainkan pada pimpinan inti MAA, khususnya dua wakil ketua, yang mengabaikan hasil Raker tersebut. Bahkan, Lembaga Wali Nanggroe tidak dapat disalahkan dalam hal ini, karena melalui Pimpinan Majelis Tuha Peut dan persetujuan Waliyul Ahdi, telah ada rekomendasi untuk segera melaksanakan hasil Raker, termasuk melengkapi pengurus dan memilih Ketua Definitif. Namun, lagi-lagi, hal ini tidak ditindaklanjuti, kata pengamat politik dan kebijakan publik itu.
Kesimpulannya, permasalahan ini terletak pada pengurus inti yang tidak melaksanakan hasil kesepakatan Raker. Diduga, ada upaya sengaja menciptakan kegaduhan hingga masa jabatan pengurus habis dalam waktu satu tahun ke depan, dengan tujuan agar pengurus inti saat ini dapat mencalonkan diri dalam Mubes mendatang untuk menjadi Ketua.
Maka sudah seyogyanya ada kebijakan dan tindakan tegas dari pihak Gubernur Aceh dengan cara memfasilitasi untuk melengkapi Kepengurusan sesuai Rekomendasi Raker MAA yang sudah blangsung 7 bulan yang lalu