Mengenal Hipogami, Fenomena Perempuan Memilih Pasangan Status “Lebih Rendah”

by
by
Ilustrasi pernikahan.| Foto Shutterstock/KirylV

JAKARTA – Dari dongeng klasik seperti Cinderella hingga novel populer seperti Pride and Prejudice karya Jane Austen, gagasan perempuan sebaiknya menikah dengan pria berstatus sosial atau ekonomi “lebih tinggi” telah membentuk norma-norma budaya kita.

Namun, seiring dengan semakin banyaknya perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi dan mencapai kemandirian finansial, pola tradisional ini mulai bergeser.

“Saat ini ada jurang yang makin lebar di kalangan anak muda. Jumlah perempuan berpendidikan tinggi jauh melampaui laki-laki,” ujar Nadia Steiber, seorang sosiolog dari Universitas Wina di Austria, seperti dilansir Kompas.com Kamis (29/05/2025).

Kondisi ini memunculkan anggapan bahwa sebaiknya perempuan mencari pasangan yang setara, baik dari segi pendidikan maupun status sosial ekonomi. Namun, menurut Nadia, dalam kenyataannya, sering kali perempuan justru memilih pasangan dengan status yang “lebih rendah”.

Dalam ilmu sosial, fenomena ini disebut sebagai “hipogami”.

Apa itu hipogami?

Hipogami adalah suatu kondisi saat seseorang, khususnya perempuan, menikah atau menjalin hubungan romantis dengan individu yang memiliki status sosial, ekonomi, atau pendidikan yang lebih rendah ketimbang dirinya.

Kebalikannya, hipergami—perempuan mencari pasangan yang statusnya lebih tinggi—lebih lazim dan diterima secara sosial. Ini sejalan dengan norma tradisional yang mendorong perempuan untuk mencari pasangan yang memiliki kondisi finansial lebih mapan, lebih tua, atau tingkat pendidikannya lebih tinggi.

Catherine Hakim, sosiolog Inggris dan profesor peneliti di Civitas, sebuah lembaga pemikir di London, menjelaskan bahwa secara historis, anak laki-laki menerima pendidikan yang lebih baik karena mereka diharapkan bekerja. Sementara anak perempuan belajar tugas-tugas rumah tangga dari ibu mereka di rumah.

“Kesenjangan usia dan pendidikan yang besar antara pasangan memungkinkan patriarki berkembang pesat. Kesetaraan pendidikan untuk laki-laki dan perempuan merupakan ciri masyarakat modern yang makmur,” katanya.

Pergeseran menuju hubungan egaliter

Data termutakhir mencerminkan perubahan ini. Studi dari Pew Research Center pada 2023 menunjukkan bahwa 24 persen perempuan yang terikat pernikahan heteroseksual di Amerika Serikat (AS) memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi daripada suami mereka.

Jumlah ini mengalami peningkatan 19 persen dibanding data pada 1972. Studi yang sama mengungkap sekitar 29 persen dari total pasangan pernikahan yang diteliti, baik suami dan istri memperoleh penghasilan yang hampir sama. Meskipun model hubungan tradisional—suami menjadi pencari nafkah utama atau tunggal—masih mendominasi lebih dari separuh pasangan, kini ada sekitar 16 persen pasangan dengan pihak perempuan berperan sebagai pencari nafkah.

Baca Juga:  Cara Make Up untuk Hasil Flawless dan Tahan Lama Bagi Pemula, Berikut Tahapannya

Menariknya, selama lima dekade terakhir, proporsi perempuan yang penghasilannya setara atau bahkan melebihi suami mereka telah meningkat hampir tiga kali lipat. Perubahan ini menantang norma gender yang lama berlaku.

Hal ini membentuk pandangan terhadap hubungan, yang kerap menciptakan gesekan antara realitas yang terus berkembang dan preferensi sosial yang masih hidup.

“Meskipun beberapa perempuan masih mencari pasangan dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi, banyak dari mereka kini lebih memprioritaskan keselarasan emosional, nilai-nilai yang sama, dan rasa saling menghormati daripada hanya penanda status konvensional,” ujar Michelle Begy, perantara perjodohan dari Ignite Dating.

“Perubahan ini mencerminkan pergeseran besar menuju hubungan yang lebih egaliter, yang lebih menekankan pada kualitas hubungan dan pemenuhan pribadi ketimbang struktur yang bersifat hierarkis,” imbuhnya.

Sementara sosiolog di Inggris, Catherine Hakim, menyebut kesenjangan pendidikan kini menjadi pola paling umum yang terjadi di Eropa dan Amerika Utara.

“Sekitar setengah, tetapi terkadang hingga tiga perempat, pasangan melaporkan kesetaraan pendidikan,” jelasnya. “Sekitar sepertiga istri menikah dengan pasangan yang tingkat pendidikannya lebih tinggi, sementara sekitar seperlima suami menikah dengan pasangan yang tingkat pendidikannya lebih tinggi. Kesetaraan pendidikan menjadi norma,” imbuhnya.

Norma umum di dunia

Sementara hipogami semakin dikenal di Barat, hipergami masih umum di banyak tempat di belahan dunia lain. Sonalde Desai, sosiolog di Universitas Maryland, AS, menjelaskan bahwa kitab suci Hindu berfokus pada pernikahan dalam kasta yang sama. Namun, kata Desai, pernikahan anuloma—ketika seorang laki-laki menikahi perempuan dari kasta yang lebih rendah—diizinkan.

Sementara itu, pernikahan pratiloma—ketika laki-laki menikahi perempuan dari kasta yang lebih tinggi—dilarang.” Desai mencatat bahwa praktik perjodohan masih mendominasi di India. Kira-kira 95 persen pernikahan terjadi pada kasta yang sama.

Norma tradisional tercermin dalam iklan perkawinan di surat kabar biasanya mengharapkan mempelai laki-laki lebih tua, lebih tinggi, dan setidaknya berpendidikan sama dengan mempelai perempuan.

Baca Juga:  Deretan Manfaat Fitur AI di WA, Begini Cara Menggunakannya

“Namun. penelitian empiris menunjukkan bahwa hipogami, ketika perempuan menikahi laki-laki dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah, meningkat,” paparnya.

Iran adalah contoh yang mencolok.

Negara ini memiliki populasi perempuan lulusan universitas tertinggi di Timur Tengah. Namun, norma-norma patriarki di Iran masih kuat, karena keluarga pada umumnya masih mengharapkan laki-laki menjadi pencari nafkah utama.

Hal ini mengakibatkan peningkatan jumlah perempuan lajang dan terpelajar yang kesulitan menemukan pasangan yang “dapat diterima”. Namun, generasi perempuan baru ini menantang pandangan tradisional tersebut.

Menurut koresponden penelitian, banyak dari mereka kini memprioritaskan otonomi pribadi, karier, dan mendefinisikan ulang makna hubungan dalam masyarakat kehidupan modern di Iran.

Sementara di China, ada istilah “sheng nu”, secara harafiah berarti “perempuan sisa” dalam bahasa Indonesia, namun memiliki makna merendahkan perempuan. Sebutan ini merujuk pada perempuan berpendidikan tinggi berusia akhir 20-an atau 30-an yang masih belum menikah.

Di Jepang, perempuan cenderung menunda pernikahan atau bahkan memilih untuk tidak menikah sama sekali karena mereka sudah mampu mandiri secara ekonomi.

Di sisi lain, mereka juga menghadapi beban pandangan peran gender tradisional yang masih mengakar kuat di masyarakat. Negara-negara seperti Norwegia dan Swedia menghadirkan kondisi yang kontras. Negara-negara ini memiliki kebijakan kesetaraan gender yang kuat. Mereka menerapkan cuti melahirkan yang panjang, serta partisipasi tenaga kerja perempuan yang tinggi.

Sementara masyarakatnya semakin familiar dengan hubungan yang egaliter. “Tekanan norma memiliki bobot yang berbeda di masyarakat yang berbeda,” kata Steiber. …”[Di Barat], perempuan berpendidikan tinggi—meskipun penghasilan mereka tidak lebih besar dari suami—cenderung memiliki status sosial yang baik dalam hubungan. Mereka memiliki kekuatan tawar-menawar dan berpartisipasi dalam keputusan bersama pasangan. Sementara itu, dalam budaya lain, hal ini mungkin lebih terbatas,” imbuh Steiber.

Pengaruh sosial media…Meskipun praktiknya menurun, hipergami tetap menjadi topik yang ramai diperbincangkan di media sosial, dengan terus bermunculannya saran dan kiat tentang cara menarik pasangan yang kaya atau berstatus tinggi.

Tren viral seperti passport bros—laki-laki Barat yang mencari pasangan di luar negeri yang menganut peran gender tradisional—dan munculnya gerakan tradwife—para influencer mempromosikan kehidupan rumah tangga dan mendorong perempuan untuk mencari suami berpenghasilan tinggi—turut menyoroti kembali hipergami. “Gerakan-gerakan ini mencerminkan kerinduan akan dinamika tradisional, yang kadang mengidealkan struktur hipergami,” kata Begy.

Baca Juga:  Menjijikkan Grup Facebook "Fantasi Sedarah" dengan 40.000 Pengikut, Rumah Sendiri jadi sarang Hantu bagi Anak

“Gerakan-gerakan ini menyoroti kompleksitas kencan modern, ketika individu bergulat menyeimbangkan otonomi pribadi dan harapan masyarakat, sekaligus mengungkapkan beragam cara orang menemukan kepuasan dalam hubungan,” papar Begy.

Namun, Steiber skeptis terhadap kebangkitan modern peran gender ala tahun 1950-an, yang kerap memposisikan hipergami tidak hanya sebagai sesuatu yang bisa diterima, tetapi juga diinginkan. “Mungkin ini adalah sesuatu yang terjadi di kalangan influencer media sosial yang lebih kecil, tetapi bukan tren demografi yang sebenarnya,” katanya. …Istri berpenghasilan tinggi: Sebuah kelangkaan

Steiber mengungkapkan sering terjadi ketegangan di antara para laki-laki ketika perempuan memiliki pasangan yang secara status sosial “lebih lemah”. Ini disebabkan oleh pandangan bahwa kondisi tersebut dapat menantang gagasan tradisional tentang maskulinitas.

“Masalahnya bukan tentang perempuan yang kurang bisa menerima, tetapi lebih tentang apakah laki-laki dapat mengatasi pasangan yang berpendidikan lebih tinggi atau lebih sukses,” jelasnya.

Beberapa sosiolog juga berpendapat bahwa seiring meningkatnya tingkat pendidikan perempuan, struktur masyarakat secara tersirat berupaya mempertahankan peran gender tradisional. Hal ini terlihat dari kesenjangan upah, promosi pekerjaan paruh waktu, atau norma tempat kerja yang menyulitkan perempuan untuk menyeimbangkan karier dan peran sebagai ibu.

Kondisi-kondisi ini pada akhirnya memperkuat dominasi ekonomi laki-laki. Di mana-mana, laki-laki umumnya berpenghasilan lebih besar daripada perempuan atau istri mereka karena istri dan ibu biasanya memiliki pekerjaan yang tidak berkesinambungan, atau mereka bekerja paruh waktu. Bahkan di Skandinavia yang egaliter, rata-rata suami tetap memperoleh sekitar tiga perempat pendapatan rumah tangga.

“Perempuan atau istri berpenghasilan tinggi tetap menjadi pengecualian, suatu hal yang langka, bukan situasi yang umum,” kata Steiber. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *