JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen melalui putusan perkara nomor 62/PUU-XXI/2024 pada Kamis (2/1/2025). Namun, dalam putusan tersebut, dua hakim, yaitu Anwar Usman dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, menyatakan berbeda pendapat atau dissenting opinion.
Ketua MK, Suhartoyo, mengungkapkan bahwa kedua hakim tersebut berpendapat bahwa para penggugat tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing. Oleh karena itu, Anwar dan Daniel berpendapat bahwa seharusnya MK tidak melanjutkan pemeriksaan ke tahap pokok permohonan.
“Dua hakim tersebut berpendapat bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing, sehingga statusnya Mahkamah tidak melanjutkan pemeriksaan pada pokok permohonan,” kata Suhartoyo dalam konferensi pers di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).
Putusan MK ini terkait dengan uji materi Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), yang mengatur tentang ambang batas pencalonan presiden. Pasal tersebut menyatakan bahwa pasangan calon presiden harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan kursi sekurang-kurangnya 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Namun karena gugatan itu dikabulkan, MK menyatakan pasal 222 bertentangan dengan UUD 1945.
“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tutur Suhartoyo.