Oknum Jaksa Masih Banyak Bermain Proyek, OTT KPK Bukti Gagalnya Pengawasan Internal Kejaksaan

by
Ketua Umum BPI KPNPA RI, Rahmad Sukendar, | Foto dok pribadi

JAKARTA — Penanews.co.id – Ketua Umum BPI KPNPA RI, Rahmad Sukendar, melontarkan kritik keras terhadap institusi Kejaksaan. Ia menilai praktik “main mata” antara oknum jaksa dengan kepala dinas (Kadis) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam proyek-proyek pemerintah masih marak terjadi dan telah merusak mental serta moral aparat penegak hukum.

Menurut Sukendar, fenomena jaksa yang terlibat dalam permainan proyek bukan lagi isu baru, melainkan persoalan sistemik yang mencerminkan lemahnya pengawasan internal di tubuh Kejaksaan.

“Masih banyak jaksa yang bermain proyek, bersekongkol dengan Kadis dan PPK. Ini bukan hanya pelanggaran hukum, tapi juga merusak moral dan integritas jaksa sebagai penegak hukum,” tegas Rahmad Sukendar kepada awak media, Minggu (21/12/2025).

Ia juga menyoroti kinerja bidang Intelijen Kejaksaan yang dinilainya tidak maksimal dalam menjalankan fungsi sebagai alat deteksi dini dan kontrol sosial. Padahal, Intelijen Kejaksaan seharusnya mampu membaca potensi penyimpangan sejak awal sebelum berujung pada tindak pidana korupsi.

“Intelijen Kejaksaan tidak bekerja maksimal. Fungsi sosial kontrol seolah mati. Kalau intelijen bekerja dengan baik, OTT demi OTT tidak akan terus berulang,” ujarnya.

Lebih lanjut, Sukendar menilai Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) juga gagal menjalankan perannya sebagai pengawas internal. Keberadaan Jamwas dinilai tidak efektif dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap jaksa di pusat maupun daerah.

“Jamwas seharusnya menjadi benteng terakhir pengawasan internal. Faktanya, jaksa tetap tertangkap OTT. Ini menunjukkan fungsi pengawasan tidak berjalan,” katanya.

Dalam konteks maraknya OTT yang menjerat jaksa, Sukendar menegaskan bahwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap oknum jaksa di Banten dan Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, harus dijadikan momentum bagi Kejaksaan Agung untuk melakukan reformasi internal secara menyeluruh.

“OTT jaksa oleh KPK seharusnya menjadi pintu masuk reformasi total Kejaksaan. Jangan lagi ditutup-tutupi atau dianggap sebagai kasus oknum semata,” tegasnya.

Sukendar bahkan secara terbuka mendesak Jaksa Agung untuk mencopot Rudi Margono selaku Jaksa Agung Muda Pengawasan dan Reda Manthovani sebagai Jaksa Agung Muda Intelijen. Menurutnya, keduanya telah gagal menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan terhadap jaksa.

“Kalau pengawasan dan intelijen berjalan, tidak mungkin jaksa terus-menerus tertangkap OTT. Ini bentuk kegagalan kepemimpinan di level atas,” katanya.

Ia juga mengkritik langkah Kejaksaan Agung yang dinilainya kurang menunjukkan komitmen kuat dalam pemberantasan korupsi, khususnya ketika perkara yang melibatkan jaksa justru ditangani secara internal.

“Penangkapan jaksa membuktikan pengawasan internal tidak berjalan. Padahal, pengawasan adalah kunci agar penegakan hukum berjalan bersih dan berintegritas,” ungkapnya.

Berdasarkan data BPI KPNPA RI, sejak 2006 hingga 2025 terdapat 45 jaksa yang ditangkap karena kasus korupsi, dengan 13 di antaranya ditangkap oleh KPK. Bahkan sejak ST Burhanuddin menjabat sebagai Jaksa Agung pada 2019, tercatat tujuh jaksa tersandung kasus korupsi.

“Ini menunjukkan reformasi Kejaksaan gagal. Angka ini bukan kecil dan tidak bisa lagi ditoleransi,” tegas Sukendar.

Ia juga menyoroti potensi konflik kepentingan dalam penanganan perkara korupsi yang melibatkan jaksa, terutama ketika KPK menyerahkan penanganannya kepada Kejaksaan Agung. Padahal, KPK memiliki kewenangan penuh untuk menangani kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a UU KPK.

“Penyerahan perkara jaksa korupsi ke Kejaksaan Agung berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan melokalisir kasus. OTT seharusnya menjadi pintu masuk untuk mengembangkan perkara dan mengungkap aktor lain,” ujarnya.

Sukendar juga mengingatkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XXIII/2025 yang menegaskan bahwa apabila personel Kejaksaan tertangkap tangan melakukan tindak pidana, proses hukum dapat dilanjutkan tanpa izin Jaksa Agung.

“Oleh karena itu, pelimpahan perkara korupsi jaksa ke Kejagung patut dipertanyakan. Ini justru menunjukkan lemahnya peran dan keberanian KPK dalam menindak korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum,” pungkasnya.[]

ya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *