Pakar Pendidikan; Penjurusan IPA-IPS-Bahasa di SMA itu Penggalan Kolonial

by
Ilustrasi IPA atau IPS.

SURABAYAKementerian pendidikan dasar menengah (Kemendikdasmen) beberapa waktu lalu mewacanakan bakal mengembalikan penjurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan Bahasa di Sekolah Menengah Atas (SMA).

“Jurusan (di SMA) akan kita hidupkan lagi. Jadi nanti akan ada jurusan lagi. IPA, IPS, dan Bahasa,” kata Mu’ti Menteri Pendidikan Dasar dan Mengengah (Mendikdasmen) dikutip, Jumat (11/4/2025).

Penjurusan IPA, IPS, Bahasa Itu Sistem Usang

Guru Besar Sosiologi Pendidikan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair), Prof. Dr. Tuti Budirahayu, Dra., MSi., mengkritik kebijakan kembalinya penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA dan sederajat.

Menurutnya, sistem tersebut merupakan peninggalan kolonial yang sudah usang dan tidak sesuai dengan kebutuhan pendidikan modern.

Baca juga ; Guru Minta Pemerintah Segera Batalkan Pengembalian Jurusan IPA-IPS pada SMA, ini alasannya

Tuti menyatakan, penjurusan kaku seperti IPA, IPS, dan Bahasa justru membatasi pengembangan potensi siswa.

“Banyak siswa dipaksa masuk jurusan IPA (karena jurusan ini) dianggap lebih superior, padahal minat dan potensinya tidak di situ. Akhirnya saat masuk perguruan tinggi, mereka tidak bisa mengambil jurusan yang sesuai minat bakatnya,” kata Tuti, dikutip dari Unair News, Sabtu (26/4/2025).

Sistem Pendidikan Perlu Fleksibel

Tuti menekankan, pemerintah seharusnya merancang kebijakan pendidikan yang lebih progresif dan adaptif dengan perkembangan zaman.

Menurut Tuti Idealnya, sistem pembelajaran di SMA harus fleksibel, memungkinkan siswa mengeksplorasi minat dan bakat secara lebih luas, baik akademik maupun nonakademik.

Baca juga ; Mendikdasmen Kembali Berlakukan Sistem Penjurusan di SMA pada TA 2025/2026

Ia menjelaskan, dalam hal ini perlu ada penyesuaian pada pengembangan minat, bakat, serta potensi akademik dan nonakademik siswa. Penyesuaian ini khususnya berkaitan dengan persiapan siswa untuk memilih jurusan di pendidikan tinggi nanti.

Baca Juga:  Terkait Netralitas ASN, PJ Gubernur Safrizal Jangan Asbun di Depan Rakyat Aceh

“Penjurusan seperti IPA, IPS, dan Bahasa perlu dikaji ulang. Seharusnya pemerintah menyusun kebijakan pendidikan yang lebih progresif dan selaras perkembangan zaman, termasuk memperhatikan ketersediaan sarana, prasarana, serta sumber daya guru,” kata Tuti.

Bandingkan Penjurusan di Negara Maju

Ia mencontohkan, sistem pembelajaran di negara-negara maju tidak lagi dikotak-kotakkan ke dalam beberapa jurusan saja. Di Singapura, misalnya, siswa dapat memilih mata pelajaran lintas bidang. Di Amerika Serikat, siswa bebas memilih mata pelajaran sesuai minat dan rencana karier karena tak ada lagi sistem penjurusan formal.

Sementara itu di Jerman dan Jepang, ada juga pilihan jalur akademik atau vokasi. Model pendidikan dual system yang tersedia di negara maju ini menggabungkan pembelajaran di sekolah dengan pelatihan kerja.

“Dengan sistem seperti itu, apa yang dipelajari siswa ketika di SMA akan lebih relevan dengan bidang yang ingin mereka dalami di perguruan tinggi,” kata Tuti.

Sarankan Blueprint Pendidikan Nasional

Tuti mengatakan kebijakan pendidikan nasional juga sebaiknya dirancang dalam jangka panjang sebagai blueprint atau cetak biru. Rencana terperinci pembangunan dan pengembangan pendidikan jangka panjang ini diharapkan jadi pedoman yang akan diikuti pemerintahan selanjutnya.

Ia mencontohkan, ketiadaan cetak biru pendidikan nasional memungkinkan munculnya kebijakan populis tanpa evaluasi mendalam, seperti program Sekolah Rakyat. Tuti menilai program ini justru berpotensi mengorbankan sekolah-sekolah dengan keterbatasan fasilitas.

Sementara itu, merespons wacana penerapan Tes Kemampuan Akademik (TKA) dalam Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP), Tuti menyatakan tidak keberatan. Syaratnya, alat validasi rapor ini perlu mampu untuk mengukur potensi akademik siswa secara valid dan akurat.

Tuti menekankan agar pemerintah tidak membuat kebijakan yang tumpang tindih, tidak mengakar, dan tidak didasarkan atas kajian dan data menyeluruh. Ia menambahkan, pemerintah perlu berani berinovasi dan mereformasi pendidikan untuk jangka panjang.

Baca Juga:  Usman Lamreung; Dilema Om Bus, Mencari Sosok Pengganti Tu Sop

“Jangan sampai setiap pergantian rezim, lalu berganti menteri, kebijakan ikut berubah. Pendidikan harus punya arah yang jelas dan disesuaikan dengan nilai-nilai budaya serta tujuan pendidikan nasional, setidaknya untuk 25 hingga 50 tahun ke depan,” ucapnya.

Sumber Unair News

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *