Dalam beberapa hari ini, pembicaraan, perbincangan, diskusi serta perdebatan dalam kehidupan masyarakat Aceh, terutama Aceh Singkil berhubungan dengan 4 Pulau yang semena-mena serta terkesan merampas dan merampok wilayah atau pulau yang merupakan kepemilikan sah Aceh. Hal ini berdasarkan keputusan sepihak Menteri Dalam Negeri melalui Surat Keputusan Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, ditetapkan 25 April 2025, mengubah status administrasi empat pulau di Aceh Singkil menjadi wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Yang mana, keempat pulau itu adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek.
Jika merujuk kepada merujuk perundingan damai antara Memorandum of Understanding (MoU) antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia di Helsinki, ini yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 yang lalu, maka salah satu poin penting nota kesepakatan damai tersebut adalah, telah disepakati bahwa wilayah perbatasan Aceh kembali ke peta 1 Juli 1956.
Demikian juga bahwa, bukti empiric Pemerintah Aceh bersama tim dari Kementerian Dalam Negeri terhadap fasilitas terhadap keempat pulau tersebut. Hal ini berdasarkan verifikasi kepemilikan pulau-pulau tersebut.
Sesungguhnya sebelumnya, Pemerintah Aceh menunjukkan berbagai bukti otentik, termasuk infrastruktur fisik, dokumen kepemilikan, serta foto-foto pendukung, sehingga secara jelas bahwa, secara sah atas proses ini juga melibatkan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil.
Dalam hal ini di Pulau Panjang misalnya, dengan berbagai dokumen pendukung Pemerintah Aceh memperlihatkan sejumlah infrastruktur yang dibangun dengan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil. Hal ini tergambar dalam bentuk tugu selamat datang, tugu koordinat dibangun oleh Dinas Cipta Karya dan Bina Marga pada tahun 2012, rumah singgah dan mushala (2012), serta dermaga dibangun pada tahun 2015.
Makanya Pemerintah Aceh telah menunjukkan berbagai bukti fisik hingga Peta Kesepakatan 1992, yang disetujui bersama secara bertanggung jawab secara administratif pemerintahan. Hal ini semestinya dapat dipahami Menteri Dalam Negeri RI, bukan semena-mena dirampas dan dirampok tanah kepulauan milik Aceh, meski dinbantu oleh putra Aceh yang ada di Kementrian Dalam Negeri dengan argumentasi menyesatkan.
Namun demikian, mengapa saat ini secara tiba-tiba ada keputusan baru yang ditandangani oleh Menteri Dalam Negeri RI menjadikan keempat pulau tersebut menjadi milik Sumatera Utara atau dibawah wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah. Sesungguhnya, perubahan wilayah kekuasaan secara politik dan kewilayahan dapat diilustrasikan bahwa, ini perilaku dan praktik pada era kolonialisme dan penjajahan abad pertengahan.
Bahwasanya strategi ini dilakukan dengan praktik atau cara melihat potensi alam, sumber daya alam dan sumber daya ekonomi yang potensial untuk kepentingan ekonomi-politik, ini harus dikuasai sebagai daerah jajahannya menjadi kolonisasi.
Dengan demikian alasan untuk menguasai wilayah tersebut dapat dilakukan secara terbuka atau diam-diam dengan mengerahkan segala kekuatan serta manipulasi politik agar dapat dikuasai, bahkan dirampok dengan cara licik dan pengkhianatan kesepakatan-kesepakatan sebelumnya, dan atau menggunakan kekerasan.
Sesungguhnya praktik kolonial di era zaman modern ini, sebenarnya tidak jauh berbeda kelicikan, keculasan, kemunafikan dengan menghalalkan segala cara, agar dapat menguasai serta merampas wilayah kekuasaan secara politik serta kebijakan.
Pada dasarnya ini merupakan praktik kolonial serta penjajahan zaman modern, seolah-olah keputusan yang dilakukan secara sepihak selama tidak ada perlawanan dan didiamkan, ini akan menjadi sah adanya. Hal ini dilakukan dengan menguasai, mengendalikan serta menjadikan sikap diam dan elite pemimpin kekuasaannya, sehingga kursi jabatan politik Gubernur Aceh (eksekutif) dan legislatif mengambil sikap diam serta tidak melawan sama sekali, bahkan tidak memperjuangkan harta, tanah, harkat dan martabat serta marwah rakyat Aceh dengan pengalihan keempat Pulau di wilayah Aceh Singkil tersebut.
Ini sebagai bukti kesepakatan serta keterjajahan elite politik dan Pemimpin Aceh berdasarkan pemberian jabatan serta kekuasaan yang mampu mendiamkan serta memilih sikap diam tanpa melawan terhadap aksi kolonialisme dan keterjajahan Aceh dari Pemerintah Pusat Jakarta, dengan cara memberikan hak wilayahnya kepada Sumatera Utara.
Pada era modern ini, perkembangan pemikiran serta praktik “neocolonialism” demikian masif dilakukan, dikarenakan kepentingan ekonomi-politik, kepentingan kekuasaan politik dan juga pertimbangan menguasai politik anggaran belanja public (Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh/APBA) yang dikendalikan secara terpusat (Centralizes), sehingga seluruh kendali kekuasaan politik dan jabatan Pemerintah Aceh berada di Pusat Jakarta.
Dengan demikian secara jelas dan terang-terangan kolonialisme terhadap Aceh diberlakukan kembali, meskipun pada kolonialisme Panjajahan Belanda perlawan para Pahlawan Aceh sangat getol dan diakui oleh Pemerintahan Belanda sulit dikalahkan dan mengorbankan para tentara Belanda.
Demikian juga, adanya confession of GAM sebagai perlawanan akibat diskriminasi pada era Orde Baru, karena penguasaan sumber daya alam (resources) dan sumber daya ekonomi Aceh, yang terus berkepanjangan dan berulangkali dikhianati Pemerintah Pusat Jakarta. Hari ini rakyat Aceh hanya disuguhkan drama “isapan jempol” belaka. Karena, ternyata saat ini kehausan dan kerakusan kekuasaan politik, jabatan, kedudukan, harta, tahta dan wanita, korupsi, kolosi dan nepotisme (KKN) menjadikan hilangnya sikap perlawanan sekecil, maka perlawan dari elite Pemimpin Aceh apapun tidak berlaku lagi. Sehingga apabila ini terus dibiarkan, didiamkan serta tanpa perwanan, maka resmi neo-colonialism berlaku dalam kehidupan Aceh Modern serta bermartabat, hanya saja perlawan terhadap penguasaan 4 Pulau Aceh di Singkil berasal dari luar pusat kekuasaan dan jabatan politik di Aceh.
Maka strateginya, kuasai elite pemimpin dan jabatan politik kekuasaannya lebih dahulu, seungguhnya ini bukanlah karakter ke-Acehan, karena tidak mudah menundukkan Aceh meskipun dengan menguasai pemimpinnya terlebih dahulu. Sehingga dapat saja bagi yang melakukan perlawanan dianggap makar dan melawan pemerintahan yang sah, karena pejabatnya diam dan tidak melawan.
—————
Dr. Taufiq A Rahim
Pengamat Politik dan KebijakanPublik
