Tukang Pijat dan ART Pejabat Jadi Petugas Haji Indonesia
JAKARTA – Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, melaporkan dugaan penyalahgunaan fasilitas negara oleh sejumlah istri pejabat yang berangkat haji menggunakan jalur furoda ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Laporan tersebut disampaikan pada Jumat (12/9/2025), bersamaan dengan penyerahan data tambahan terkait dugaan korupsi kuota haji.
Boyamin menyebut dirinya telah menyerahkan sejumlah bukti, termasuk foto-foto para istri pejabat yang mengikuti ibadah haji furoda, namun diduga tetap mendapatkan fasilitas negara seperti penginapan dan konsumsi di Arab Saudi.
“Saya tambahkan yang istri-istri pejabat, foto-fotonya saya sudah serahkan, yang berangkat dengan haji furoda tapi di sananya menerima fasilitas negara, hotel dan makan. Itu kan harusnya enggak boleh,” ungkap Boyamin
Lebih lanjut, ia juga mengungkap adanya kejanggalan lain, yakni keberangkatan sejumlah orang dekat pejabat, termasuk tukang pijat hingga asisten rumah tangga, yang ikut haji dengan status sebagai petugas haji. Padahal, kata Boyamin, status petugas haji mensyaratkan adanya proses seleksi dan tugas khusus dalam pelayanan jemaah.
“Petugas haji itu harusnya menjalani ujian dan punya tanggung jawab melayani jemaah, bukan sekadar titel agar bisa berangkat haji,” tegasnya.
“Tapi karena ini hanya pembantu dan tukang pijet, dia melayani majikannya saja, tidak melayani jemaah. Tadi saya serahkan lebih lengkap, berupa foto-foto,” ujarnya.
Diketahui sebelumnya, Boyamin mendatangi Gedung Merah Putih KPK, pada Jumat (12/9/2025). Kedatangannya ini guna memberikan dokumen ke KPK terkait kasus dugaan korupsi kuota haji 2024.
“Saya datang ke KPK menambah data yang terkait dengan dugaan korupsi penyelenggaraan ibadah haji, yaitu surat tugas nomor 956 tahun 2024 yang dibuat 29 April 2024 oleh Inspektur Jenderal Kementerian Agama, Pak Faisal, ini tanda tangan dengan barcode,” kata Boyamin di Gedung Merah Putih KPK, Jumat (12/9/2025).
Dalam surat tersebut menurut Boyamin, eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (YCQ) bersama beberapa orang lainnya ditugaskan melaksanakan pemantauan ibadah haji 2024.
Hal itu kata dia, menjadi dobel tugas untuk Yaqut karena sudah menjadi amirul hajj. Tugas pemantauan tersebut menurut Boyamin, berbenturan dengan UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
“Jadi Menteri Agama dan Staf Khusus nggak boleh jadi pengawas, apalagi Menteri Agama itu sudah jadi amirul haj, sudah dibiaya negara untuk akomodasi dan uang harian,” ujarnya.
Boyamin melanjutkan, dari tugas tersebut Yaqut diduga menerima uang tambahan sebesar Rp7 juta per hari. “Nah diduga juga diberikan juga ini uang harian sebagai pengawas, sehari Rp7 juta, ya kali 15 hari ya berapa itu,” ucapnya.
Ia menambahkan, permasalahan tersebut bukan sekadar terkait penerimaan Yaqut yang dimaksud. Tapi, adanya pelanggaran UU Nomor 8 Tahun 2019.
“Pengawas luar itu DPR, BPK dan BPKP segala macam, pengawas internal itu adalah dari APIP, APIP itu orang-orang Inspektorat Jenderal, inspektur lah, pengawasnya Kementerian Agama,” tutur dia.
“Maka di sini menjadi dobel, bukan sekadar dobel anggaran, tapi nggak boleh sebenarnya, nggak boleh Menteri Agama, Staf Khusus jadi pengawas, karena pengawas harus APIP, atau orang dari Inspektorat Jenderal,” sambungnya.[]
Sumber SINDOnews.com





