BANDA ACEH – Penanews.co.id – Yayasan Sultan Alaidin Mansyursyah menggelar peringatan milad ke-518 Kesultanan Aceh dan renungan musibah hidrometeorologi Aceh Sumatera,,di Komplek Baperis, Banda Aceh, Ahad (07/12/2025) .
Acara dengan tema “Nanggroe Tapuga Bumoe Tajaga” tersebut juga diisi dengan berbagai kegiatan sosial. Acara diawali dengan zikir dan doa bersama untuk syuhada korban bencana Aceh, ziarah dan doa bersama di makam para sultan di Kandang Meuh Sultan Alaidin Mansyutsyah.
Pada acara yang sama panitia juga menggelar pameran manuskrip dan kitab kuno Aceh bekerja sama dengan Museum Negeri Aceh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh, serta mengadakan aksi peduli bersama penggalangan dana dan donor darah bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia (PMI) Banda Aceh.
Ketua Panitia Tarmizi menjelaskan, Kesultanan Aceh merupakan bagian dari peradaban Islam. Perayaan milad dilakukan selain untuk mengenang kebesaran pendahulu kesultanan Aceh yang perlu diteruskan oleh generasi Aceh sekarang, juga sebagai bentuk kepedulian bersama terhadap korban bencana banjir Aceh.
Ketua Yayasan Sultan Alaidin Mansyursyah, H. Tuanku Warul Waliddin menjelaskan, Kesultanan Aceh sejak zaman dahulu telah mewariskan kearifan dalam menjaga lingkungan dalam Qanun Al Asyi yang terangkum dalam 21 wasiat sultan Aceh.
“Akibat kita tidak lagi memahami wasiat sultan Aceh itu, maka kita ditimpa bencana. Semoga donasi yang terkumpul pada acara peringatan milad Kesultanan Aceh ini bisa meringankan beban saudara-saudara kita yang ditimpa musibah,” ujarnya.
Senada dengan Tuanku Warul Walididn, hal yang sama juga disamaikan Teuku Muhammad Zulfikar. Mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh ini memaparkan bahwa Kesultanan Aceh memiliki tradisi kuat dalam menjaga alam dan lingkungan.
“Kesultanan Aceh memandang alam sebagai Amanah yang harus dijaga, yang tidak boleh diekploitasi atau diambil secara berlebihan. Aceh sejak zaman dahulu memiliki lembaga adat yang Bernama Panglima Uteuen yang mengatur tentang penggunaan hutan, ada aturannya mana lokasi hutan yang boleh dibuka untuk lahan, mana yang tidak,” ungkapnya.
TM Zulfikar menambahkan, luas Aceh hanya 5,7 juta hektar, 3,5 juta hektar merupakan wilayah hutan. Namun sayangnya kerusakan hutan di Aceh setiap tahun semakin parah. Sekitar delapan ribu hingga sepuluh ribu hektar hutan Aceh rusak setiap tahun.
“Kerusakan ini menyebabkan hutan tidak lagi bisa menyerap air dengan baik, sehingga air lebih deras turun ke bawah dan terjadilah banjir seperti yang kita rasakan sekarang. Ini sudah berkali-kali kita ingatkan. Untuk memperbaiki Kembali kerusakan itu, perlu perencanaan tata ruang yang baik, bagaimana hutan yang rusak itu ditata Kembali. Pemerintah harus mengambil keputusan terbaik untuk menyelamatkan masyarakat,” harapnya.
Sementara itu Abi Wahid Al Asyi dalam tausiyahnya menyampaikan bahwa bencana terjadi akibat kesalahan manusia sendiri. “Banyak kemungkaran yang terjadi di Aceh sekarang, kita perlu terus untuk berjuang bukan hanya dalam amal marruf tapi juga nahi mungkar. Mari Bersama-sama kita mencegah kemungkaran agar Allah tidak menurunkan bala ke negeri Aceh ini,” imbaunya.[]





