BANDA ACEH -Penanews.co.id — Pagi Senin (17/12/2025), pukul 07.45 WIB. Embun masih menetes di rerumputan pinggir jalan tanah berliku yang mengarah ke titik distribusi gas di pinggiran Gampong Kajhu, Baitussalam, Aceh Besar.
Meskipun demikian, matahari sudah mulai menusuk kulit, membuat tanah liat di beberapa bagian jalan tampak mengering perlahan.
Di ujung antrian yang membentang lebih dari seribu meter seperti ular besar yang melingkar, berdiri Sugadi (62 tahun). Wajah keriputnya menoreh jejak usia, tangannya kusam dan penuh kapalan memegang erat bagian bawah tabung gas kosong.
Tabung itu terasa semakin berat seiring berjalannya waktu; ia menggesernya dengan gerakan lambat, selangkah demi selangkah—maju sedikit, berhenti saat antrian macet, lalu maju lagi. Seolah-olah sedang menuntun anak kecil yang lemah lembut menuju tujuan yang tak terlihat jelas di kejauhan.
Tak ada bekal makanan yang dibawa, juga tidak ada botol air untuk menghilangkan dahaga yang mulai menggigit tenggorokan.
Hanya selembar kain sapu tangan yang dililitkan di dahinya, menyerap keringat yang terus mengalir deras ke leher dan membasahi baju yang sudah kusam akibat keringat dan debu jalan.
“Kalau bawa makan atau minum, kan susah bawa tabungnya… tangan sudah tidak cukup untuk itu,” ucap Sugadi dengan suara serak, sambil mengusap peluh yang menutupi setiap lekukan wajahnya.
Napasnya sedikit terengah-engah, namun matanya tetap terpaku ke arah depan antrian. “Lebih baik fokus aja biar cepat dapat. Istri sudah siapin kompor di rumah, cuma tunggu gas buat masak nasi dan sayur untuk makan siang. Anak-anak pulang sekolah pasti sudah lapar,” ujarnya lirih.
Pemandangan seperti ini bukan lagi hal baru bagi warga Banda Aceh dan Aceh Besar sejak dua minggu terakhir.
Hampir setiap hari, warga bertanya-tanya di mana ada penjualan gas, dan setiap pangkalan selalu penuh dengan orang yang mengantri, bahkan ada yang berjalan jauh untuk mencari pasokan.
Kelangkaan dan lonjakan harga LPG telah menjadi momok yang menghantui setiap rumah tangga di wilayah tersebut.
Harga yang dulunya terjangkau kini melambung tinggi, sementara titik distribusi resmi yang menjual dengan harga subsidi semakin sulit ditemukan.
Warung-warung sekitar rumah sudah lama tidak lagi menampilkan tumpukan tabung gas di raknya.
“Dulu, datang jam 08.00 bisa langsung dapat dalam hitungan menit,” kata Sugadi sambil menghela napas panjang.
Kondisi saat ini sangat berbeda. Warga harus mengintip kapan gas masuk ke pangkalan; jika sedikit terlambat, pasokan langsung habis terjual.
“Sekarang, kadang sampai empat jam lebih. Kalau datang terlambat sedikit saja, bisa-bisa habis sebelum giliran saya. Kemarin saya datang jam 08.00, sampai jam 13.00 baru dapat,” ujarnya.
Di sepanjang antrian yang membentang membelok ke sudut jalan, bukan hanya Sugadi yang berjuang.
Banyak di antaranya adalah orang tua seperti dirinya, atau kaum muda yang menggantikan orang tua yang tidak kuat berdiri lama. Mereka saling berbagi cerita dengan nada penuh kesusahan, sambil tetap menjaga jarak agar antrian tidak berantakan.
Ada cerita yang menyakitkan dari warga lain: datang jam 07.00, meskipun sudah capek mengantri, gasnya tidak dapat karena stok yang ada tidak sebanding dengan jumlah orang yang mengantri.
Akhirnya terpaksa membeli di tempat tidak resmi dengan harga dua kali lipat dari subsidi. Padahal, bencana yang melanda Aceh sedikit banyak telah mempengaruhi pendapatan keluarga.
Sugadi mengangguk perlahan mendengar cerita itu; ia sendiri pernah merasakan hal yang sama.
Tiga hari lalu, Penanews.co.id juga merekam keluhan seorang warga di titik distribusi lain. Saat antrian terlalu panjang dan ia harus pulang karena urusan mendesak di rumah, ia terpaksa membeli gas mahal di warung yang menjual secara gelap.
Uang yang seharusnya untuk membeli susu anak terpaksa dialihkan untuk pembelian gas.
Bagi Sugadi, perjuangan berjam-jam di bawah terik matahari bukanlah beban. Ia melihatnya sebagai bagian dari tugasnya sebagai ayah untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang dicintainya.
“Semakin lama antri, semakin banyak pahala kan?” ucapnya dengan senyum lembut yang muncul perlahan di wajahnya, sambil melangkah perlahan menuju rumah yang berjarak lebih dari seribu meter, kakinya yang sudah capek tetap melangkah dengan tekun.
“Saya hanya berharap kelak, anak-anak dan cucu saya tidak perlu mengalami hal yang sama. Semoga kelak, gas bisa kembali mudah didapat dan harganya tidak lagi melambung tinggi seperti sekarang”, pungkasnya.[]





