RASA MALU

by
Ilustrasi malu


“Iman dan malu merupakan pasangan dalam segala situasi dan kondisi. Apabila rasa malu sudah tiada, maka iman pun sirna.” (HR. Al Hakim).”

Rasa malu sangat erat kaitannya dengan norma sosial dan perangkat moral dalam Islam. Ini mencakup rasa malu terhadap Allah SWT, yang menginspirasi seseorang untuk tidak berbuat dosa dan gemar melakukan perbuatan baik. Rasa malu terhadap manusia, yang mendorong seseorang untuk menjaga akhlak dan moral dalam masyarakat serta berinteraksi dengan baik dengan orang lain.

Rasa malu atau “hayaa” merupakan salah satu karakteristik utama yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari iman. Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada umatnya bahwa “hayaa” adalah “Rasa malu adalah bagian dari iman.” Hadis ini ditemukan dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, dan dipercayai oleh banyak ulama.
Rasulullah SAW berabda,

“Sesungguhnya Allah tatkala hendak membinasakan seorang hamba, Allah mencabut rasa malu darinya. Ketika Allah telah mencabut rasa malu darinya, orang itu tidak akan mendapati dirinya kecuali dia dibenci dan membenci orang lain. Ketika tidak mendapati dirinya kecuali dibenci dan membenci orang lain akan dicabut amanah (kepercayaan) darinya. Ketika amanah telah dicabut darinya dia tidak mendapati dirinya kecuali dia berkhianat dan dikhianati oleh orang lain. Ketika tidak mendapati dirinya kecuali dia berkhianat dan dikhianati, akan dicabut darinya rahmat. Ketika telah dicabut rahmat darinya, tidak mendapati dirinya kecuali dia dikutuk dan dilaknat. Ketika tidak mendapati dirinya kecuali dia dikutuk dan dilaknat, maka akan dicabut darinya tali agama Islam.” (HR. Ibnu Majah)

Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan), tetapi makna ini tidak masyhûr. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna.

Baca Juga:  Kemurkaan Allah pada Orang yang Ucapannya Tak Sesuai Perbuatan

Dalam pandangannya, rasa malu sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari gairah hati seseorang. Timbulnya rasa malu mencerminkan masih hidupnya suasana hati yang lebih kuat, sementara kurangnya rasa malu berhubungan erat dengan ‘matinya hati’, yaitu: abrasinya nilai-nilai moral dan akhlak yang memudar dengan ‘kematian hati’, sehingga berimbas pada kurangnya kepedulian terhadap nilai-nilai moral dan etika memudar.

Strategi untuk mengembangkan rasa malu sederhana dengan selalu sadar akan kehadiran Allah yang dekat dan bersyukur atas berbagai nikmat yang telah di anugerahkan-Nya. Menjadikan Allah sebagai Pengawas yang Dekat dan Pemberi Nikmat yang Maha Penyayang akan memberi motivasi bagi seseorang untuk menjauhi perbuatan dosa dan merasa malu ketika akan menggunakan nikmat Allah dengan cara yang tidak sesuai.

Dengan demikian rasa malu merupakan cerminan dari hati yang masih hidup, sejalan dengan nilai-nilai agama, dan berfungsi sebagai penjaga moral dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran akan kehadiran Allah dan penghargaan atas segala nikmat-Nya membentuk dasar bagi perkembangan sifat malu yang kuat dan mendalam dalam diri seseorang.”

Dalam “Nariet Maja”, Aceh ada sebuah ungkapan “Peuturoet nafsu gadoeh malee, Peuturoet Hatee harta binasa”

Nasrum minallah.

Lamlhom, 25 April 2025

Ditulis Oleh. Juhaimi Bakri, Ketua Tim Bina Haji dan Advokasi Haji Reguler, Bidang PHU Kanwil Kemenag Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.