Refleksi Tanggap Darurat Bencana Aceh: Negara Ada Seperti Tiada

by

BANDA ACEH – Penanews.co.id – Juru Bicara Pemerintah Aceh, Teuku Kamaruzzaman menyampaikan refleksi kritis atas pelaksanaan tanggap darurat Bencana Hidrometeorologi Aceh Tahap I pada periode 28 November-11 Desember 2025.

Mantan Sekretaris Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh– Nias itu menilai, selama 14 hari masa darurat, kehadiran negara bagi rakyat Aceh nyaris tak terasa.

Menurut pria yang akrab disapa Ampon Man itu, jutaan warga Aceh hidup dalam kondisi yang menyerupai “kembali ke zaman purba” akibat lumpuhnya listrik dan jaringan telekomunikasi selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu. “Peralatan dasar masyarakat mulai dari gawai, komputer, mesin cuci, televisi, pendingin ruangan, hingga lemari pendingin, tidak bisa digunakan,” ujarnya.

Kondisi tersebut, kata dia, bukan hanya dirasakan di wilayah terdampak langsung, tetapi juga di daerah yang relatif tidak terdampak seperti Banda Aceh, Aceh Jaya, dan Aceh Besar. Kelangkaan bahan bakar minyak dan elpiji memperparah situasi.

Dampaknya menjalar luas, memukul industri rumah tangga dan UMKM, sekaligus memicu lonjakan harga kebutuhan pokok akibat tersendatnya distribusi. Ampon Man memperkirakan total penduduk yang terdampak situasi ini mencapai 5-6 juta jiwa di seluruh Aceh.

Ia menyoroti keterbatasan kemampuan lembaga dan organisasi pemerintah dalam penanganan bencana. Ampon Man menilai keandalan dan kualifikasi pekerja kemanusiaan pada unit-unit penyelamatan negara belum tampak memadai. “Sebagian unit penyelamat justru terlihat seperti aparatur kantoran, bukan tim respons darurat,” katanya.

Di sejumlah wilayah terisolasi, kata Ampon Man, warga korban bencana terpaksa bertahan dengan apa pun yang tersedia karena makanan pokok sulit diperoleh selama berhari-hari. Ada yang harus menempuh puluhan kilometer, bahkan berhari-hari perjalanan, demi mendapatkan pangan bagi keluarga. Keterisolasian yang berkepanjangan itu juga berdampak pada lambatnya pencarian dan evakuasi korban yang masih bisa diselamatkan maupun ditemukan.

Ia membandingkan penanganan kali ini dengan respons besar-besaran saat bencana tsunami 2004. Menurut Ampon Man, tidak terlihat adanya pengerahan logistik skala besar melalui jalur udara ke daerah terisolasi, sebagaimana pernah dilakukan pada masa tsunami, ketika distribusi bantuan pangan dilakukan luas tanpa perhitungan lain selain penyelamatan nyawa manusia. “Demikian pula pengerahan komponen cadangan negara untuk pencarian dan penyelamatan korban secara masif di darat, sungai, dan laut, termasuk potensi korban tertimbun lumpur, tidak tampak,” ujarnya, seraya menyebut perbandingan dengan penanganan tsunami dan bencana hidrometeorologi atau Siklon Senyar 25.

Masalah juga terjadi pada sektor komunikasi. Ampon Man menilai jaringan telekomunikasi yang seharusnya mandiri dengan genset atau baterai cadangan justru ikut lumpuh dengan alasan ketiadaan listrik dan BBM. Akibatnya, komunikasi dan arus informasi di hampir seluruh Aceh terganggu, kecuali di lokasi-lokasi yang telah menggunakan perangkat komunikasi satelit seperti Starlink.
Di sektor kelistrikan, PT PLN dinilai masih menerapkan mekanisme perbaikan pascabencana seperti kondisi normal yang memerlukan waktu lama. Padahal, meski disebut telah mengerahkan puluhan ribu teknisi dari berbagai daerah, Ampon Man tidak melihat adanya respons darurat berupa pengadaan generator listrik untuk kota-kota terdampak sebagai penopang aktivitas dan jalur komunikasi vital Aceh. Sementara itu, penyaluran BBM dan elpiji oleh Pertamina baru mulai lancar pada hari ke-10 masa tanggap darurat setelah sebelumnya terkendala persoalan kuota.

Di tengah kritik tersebut, Ampon Man memberi apresiasi kepada Badan Pangan Nasional dan Perum Bulog. Ia menyebut kedua institusi itu memiliki stok pangan yang memadai dan siap disalurkan kapan saja melalui posko kebencanaan. Bahkan, menurutnya, pemerintah pusat telah menyetujui penambahan ribuan ton beras sesuai permintaan Pemerintah Aceh.
“Bagi Pemerintah dan rakyat Aceh, sikap meremehkan atau mengabaikan penyelamatan satu nyawa korban bencana sama artinya dengan meremehkan 5-6 juta nyawa rakyat Aceh,” kata Ampon Man.

Ia menilai Aceh seolah ditakdirkan selalu berada dalam episode perjuangan, baik konflik antarmanusia maupun menghadapi bencana alam dengan kemampuan sendiri.
Ia mengingatkan bahwa bencana tsunami 2004 telah menjadi jalan bagi perdamaian Aceh setelah hampir 30 tahun konflik. Dalam bencana hidrometeorologi kali ini, Ampon Man meyakini ada rencana lain dari Tuhan bagi rakyat Aceh. “Allah SWT adalah perencana terbaik,” ujarnya. Karena itu, ia mendorong Aceh untuk berani berdiri di atas kaki sendiri dengan seluruh kekuatan masyarakat. “Kita Aceh meutaloe wareeh,” katanya.

Ampon Man juga mengutip pernyataan Gubernur Aceh Muzakir Manaf yang menyebut bahwa harapan utama hanya boleh disandarkan pada ketentuan dan pertolongan Allah SWT. “Jika kita berharap pada manusia, kita mungkin akan kecewa. Pernyataan itu sudah cukup menggambarkan situasi dan kondisi yang dihadapi rakyat Aceh dalam negara ini,”pungkasnya.

ya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *