RUPSLB Bank Mandiri, Antara Konsolidasi Manajemen dan Risiko Konflik Kelentingan

by

RENCANA Bank Mandiri menggelar RUPSLB pada 19 Desember 2025 tampak sebagai agenda korporasi yang wajar. Namun ketika tiga agenda strategis yaitu perubahan anggaran dasar, delegasi penyusunan rencana kerja dan anggaran 2026, serta restrukturisasi susunan pengurus diletakkan dalam konteks dinamika internal dan eksternal yang berlangsung, RUPSLB ini justru menjadi indikator penting mengenai arah tata kelola bank terbesar milik negara tersebut.

Pertama, momentum RUPSLB yang hanya berselang beberapa hari setelah pelantikan Riduan sebagai Direktur Utama memunculkan pertanyaan mengenai urgensinya. Dalam literatur tata kelola korporasi, restrukturisasi pengurus di awal masa jabatan CEO sering terjadi, tetapi umumnya didasarkan pada pemetaan risiko dan evaluasi kinerja yang transparan. Tanpa basis penjelasan tersebut, perubahan cepat justru memunculkan risiko perception of conflict of interest, dimana publik tidak mendapat cukup informasi untuk membedakan mana kebijakan profesional dan mana langkah politis.

Kedua, keberadaan kasus kredit sebesar 50 juta dolar AS kepada PT Jenggala Maritim Nusantara (JMN) menjadi faktor eksternal yang memperumit narasi. Fakta bahwa perusahaan tersebut disebut masih berusia dua bulan saat mengajukan kredit, sebagaimana terungkap dalam persidangan tata kelola minyak mentah Pertamina, memunculkan tanda tanya mengenai pemenuhan prinsip kehati-hatian perbankan. Dalam standar prudential banking, perusahaan baru biasanya tidak memenuhi syarat untuk memperoleh kredit sebesar itu tanpa rekam jejak finansial yang kuat, agunan memadai, atau penjaminan tingkat tinggi.

Tanpa ada penjelasan resmi dari Bank Mandiri mengenai status kredit, mekanisme persetujuannya, serta langkah mitigasi risikonya, publik wajar menduga bahwa RUPSLB, khususnya agenda perubahan susunan pengurus, bisa saja bersinggungan dengan upaya mengelola risiko reputasi kredit tersebut. Bukan berarti dugaan itu benar, tetapi ketiadaan komunikasi publik menimbulkan ruang spekulasi yang luas.

Ketiga, dinamika ini terjadi di tengah komitmen pemerintah, melalui arahan Presiden Prabowo Subianto, untuk memperkuat tata kelola BUMN dan memutus jaringan korupsi. Dalam konteks itu, langkah pertama direksi baru seharusnya berfokus pada identifikasi risiko, audit kredit besar, dan evaluasi portofolio strategis, bukan konsolidasi struktur organisasi. Jika isu kredit JMN dibiarkan tanpa klarifikasi sementara direksi diganti, kesan ketidaksinkronan antara arahan pemerintah dan langkah manajemen justru makin kuat.

Dalam teori tata kelola BUMN, terdapat konsep governance misalignment, yakni ketika keputusan korporasi tidak sejalan dengan ekspektasi publik dan regulasi. RUPSLB yang mendahulukan perubahan pengurus ketimbang penyelesaian isu tata kelola berisiko menempatkan Bank Mandiri dalam kategori tersebut.

Keempat, industri perbankan sangat bergantung pada persepsi integritas. Dalam indeks kepercayaan publik terhadap BUMN, bank merupakan sektor paling sensitif karena bersentuhan langsung dengan dana masyarakat. Oleh karenanya, setiap keputusan internal, terutama yang menyangkut struktur pengurus, harus memiliki narasi publik yang kuat. Ketiadaan penjelasan strategis akan memunculkan interpretasi bahwa langkah tersebut defensif, bukan transformasional.

Karena itu, manajemen Bank Mandiri perlu segera menjawab tiga hal mendasar, apa urgensi perubahan susunan pengurus dalam jangka waktu secepat ini?

Selanjutnya, bagaimana status dan kualitas kredit-kredit besar yang kini menjadi sorotan publik, termasuk pinjaman kepada PT JMN?

Kemudian, bagaimana rencana mitigasi risiko yang disusun untuk memastikan tidak ada pelanggaran prinsip kehati-hatian?

Menunda klarifikasi hanya akan memperluas ruang spekulasi dan merusak legitimasi keputusan manajemen. Sebab ketika informasi tidak diberikan secara transparan, publik akan mengisi kekosongan itu dengan interpretasi masing-masing, dan dalam isu BUMN, interpretasi publik sangat sering bergerak ke arah yang tidak menguntungkan.

Pada akhirnya, yang dipertaruhkan dalam RUPSLB ini bukan hanya reposisi pengurus, tetapi kredibilitas Bank Mandiri sebagai institusi yang selama ini mengklaim diri sebagai lokomotif perbankan nasional. Langkah-langkah cepat direksi baru harus dibaca sebagai komitmen memperkuat governance, bukan sekadar penataan ulang kekuasaan internal. Dan itu hanya bisa dibuktikan melalui keterbukaan, bukan keheningan.

Penulis : Sri Radjasa, M.BA (Pemerhati Intelijen)

%%%%%%%%%%%

Artikel ini merupakan opini penulis, seluruh isi di luar tanggungjawab redaksi, sepenuhnya tanggungjawab penulis

ya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *