YOGYAKARTA — Penanews.co.id — Dalam acara Pengajian Tarjih yang diadakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada hari Rabu (03/09), Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Ajengan Wawan Gunawan Abdul Wahid, menanggapi tudingan yang menyebutkan bahwa warga Muhammadiyah enggan berselawat.
Menurut Ajengan Wawan, anggapan tersebut sering kali dilontarkan dengan nada keras, seakan-akan warga Muhammadiyah kurang menghormati Nabi Muhammad SAW. Ia menegaskan bahwa tuduhan semacam itu tidak berdasar dan sama sekali tidak mencerminkan kenyataan.
“Bagaimana mungkin umat yang menisbahkan diri dengan nama Muhammad justru diposisikan seakan-akan tidak memuliakan Nabi Muhammad SAW?” ujarnya dikutip laman resmi Muhammadiyah, Minggu (21/09/2025).
Ia menjelaskan, perbedaan cara ekspresi dalam berselawat memang ada di antara warga Muhammadiyah di berbagai daerah.
Misalnya, di Jawa Barat, penyebutan nama Nabi Muhammad SAW sering kali diikuti dengan selawat secara lirih. Sementara di Yogyakarta dan Jawa Tengah, kebiasaan tersebut dilakukan dengan lantang dan serempak.
“Perbedaan ekspresi itu bukan berarti warga Muhammadiyah tidak berselawat. Karena jelas, perintah berselawat ditegaskan dalam Al-Qur’an dan hadis,” tegasnya.
Ajengan Wawan mengutip Surah al-Aḥzāb ayat 56: “Inna Allāha wa-malāʾikatahu yuṣallūna ʿala al-nabī, yā ayyuhā alladzīna āmanū ṣallū ʿalaihi wa-sallimū taslīmā.” Ayat ini, katanya, menunjukkan adanya perintah langsung dari Allah agar umat Islam berselawat kepada Nabi.
“Dalam kaidah uṣūl fiqh, pada dasarnya setiap kata kerja perintah dalam Al-Qur’an menunjukkan kewajiban. Maka berselawat adalah bagian dari ajaran Islam yang pasti diamalkan warga Muhammadiyah,” terangnya.
Lebih jauh, Ajengan Wawan memaparkan makna selawat menurut para ulama. Selawat Allah kepada Nabi berarti penganugerahan rahmat dan pujian, sedangkan selawat malaikat bermakna doa dan permohonan ampun bagi Nabi. Adapun selawat umat Nabi adalah bentuk doa dan salam penghormatan.
“Itulah yang kita lakukan setiap kali menyebut nama Nabi, baik dalam ibadah maupun dalam kehidupan sehari-hari,” jelasnya.
Ajengan Wawan juga menyinggung adanya ikhtiar dari Lembaga Seni Budaya dan Olahraga Pimpinan Pusat Muhammadiyah serta ‘Aisyiyah untuk mengembangkan tradisi selawat dalam bentuk syair dan lagu. Upaya itu, menurutnya, penting agar selawat lebih masif di kalangan warga Muhammadiyah.
“Saya sempat terharu melihat ibu-ibu ‘Aisyiyah membawakan syair selawat. Itu membuktikan bahwa tradisi ini bukan sesuatu yang asing bagi Muhammadiyah, hanya perlu lebih dibiasakan,” katanya.
Selain soal selawat, Ajengan Wawan juga menyinggung pandangan Muhammadiyah terkait peringatan Maulid Nabi. Ia menegaskan, perbedaan di Muhammadiyah terletak pada aspek kultural dan struktural.
Pada level struktural, Muhammadiyah tidak menempatkan Maulid sebagai ritual wajib, tetapi pada ranah kultural, warga Muhammadiyah tetap dapat mengekspresikan kecintaan kepada Nabi melalui berbagai bentuk penghormatan.
Ajengan Wawan mencontohkan perbedaan pandangan di kalangan ulama soal bacaan selawat dalam salat. Hadis riwayat Bukhārī menyebutkan doa sederhana: “Allāhumma ṣalli ʿalā Muḥammad wa-ʿalā āli Muḥammad.” Namun, sebagian ulama menambahkan kata sayyidinā di luar salat sebagai bentuk penghormatan.
“Perbedaan ini bagian dari ijtihad dalam memahami naṣṣ. Teksnya sama, tetapi tafsir dan praktiknya bisa berbeda,” jelasnya.
Ajengan Wawan kemudian mengajak agar warga Muhammadiyah tidak terjebak dalam stigma, melainkan terus memaksimalkan tradisi berselawat. “Yang terpenting, Rasulullah SAW dimuliakan, marwahnya ditinggikan, dan umatnya terus meneladani ajarannya,” kata Ajengan Wawan>[]





