Tajikistan Negara Mayoritas Muslim Larang Warganya Pakai Jilbab dan Perayaan Idul Fitri – Idul Adha

by
by
Foto: aftag.info

JAKARTA — Penanews.co.id — Majelis tinggi negara itu mengesahkan undang-undang yang melarang “pakaian asing” dan perayaan untuk dua hari raya besar Islam, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.

Sidang majelis tinggi parlemen Tajikistan atau Majlisi Milli ke-18 yang dipimpin oleh ketuanya, Rustam Emomali, berlangsung pada Rabu (19/6/2024).

Dilansir dari media Tajikistan, Asia-Plus, seperti dikutip CNBC indonesia, sidang tersebut mendukung amendemen yang dibuat terhadap undang-undang negara itu mengenai hari libur, tradisi dan ritual, peran guru dan lembaga pendidikan dalam membesarkan anak, serta tanggung jawab sebagai orang tua.

CNBC Indonesia menulis, Sebelumnya, Majlisi Namoyandagon atau majelis rendah parlemen Tajikistan menyetujui rancangan undang-undang yang melarang hijab dan idgardak pada 8 Juni.

Undang-undang tersebut sebagian besar menargetkan jilbab dan pakaian tradisional Islam lainnya, yang mulai masuk ke Tajikistan dalam beberapa tahun terakhir dari Timur Tengah dan para pejabat negara telah mengaitkannya dengan ekstremis Islam.

Anggota parlemen juga menyetujui amandemen baru terhadap peraturan pelanggaran administratif, yang mencakup denda besar bagi pelanggarnya. Aturan tersebut sebelumnya tidak mencantumkan penggunaan jilbab atau pakaian keagamaan lainnya sebagai pelanggaran.

Sebelumnya, Radio Liberty melaporkan pada tanggal bahwa hukuman bagi pelanggar bervariasi dari setara dengan 7.920 somoni atau sekitar Rp12 juta untuk individu dan 39.500 somoni atau sekitar Rp61 juta untuk badan hukum. Pejabat pemerintah dan otoritas keagamaan dilaporkan akan menghadapi denda yang jauh lebih tinggi, yaitu masing-masing 54.000 somoni atau sekitar Rp83 juta dan 57.600 somoni atau sekitar Rp89 juta, jika terbukti bersalah.

Perlu dicatat bahwa Tajikistan telah melarang Jilbab Islami setelah bertahun-tahun dilarang secara tidak resmi. Tindakan keras pemerintah Tajikistan terhadap hijab dimulai pada tahun 2007 ketika Kementerian Pendidikan melarang pakaian Islami dan rok mini gaya Barat untuk pelajar.

Baca Juga:  Sambut Idul Fitri, Dewan Dakwah Aceh Bagikan Paket Sembako Untuk Keluarga Kurang Mampu

Larangan ini akhirnya diperluas ke semua lembaga publik, dengan beberapa organisasi menuntut staf dan pengunjung untuk melepas jilbab mereka.

Pemerintah daerah membentuk satuan tugas khusus untuk menegakkan larangan tidak resmi tersebut, sementara polisi menggerebek pasar untuk menahan “pelanggar.” Namun pihak berwenang menolak banyak klaim dari perempuan yang mengatakan mereka dihentikan di jalan dan didenda karena mengenakan jilbab.

Pemerintah dalam beberapa tahun terakhir melakukan kampanye untuk mempromosikan pakaian nasional Tajik. Pada tanggal 6 September 2017, jutaan pengguna ponsel menerima pesan teks dari pemerintah yang menyerukan perempuan untuk mengenakan pakaian nasional Tajik.

Pesan tersebut menyatakan bahwa “Mengenakan pakaian nasional adalah suatu keharusan!” “Hormati pakaian nasional,” dan “Mari kita jadikan tradisi yang baik dalam mengenakan pakaian nasional.”

Kampanye ini mencapai puncaknya pada tahun 2018 ketika pemerintah memperkenalkan naskah setebal 376 halaman – Buku Panduan Pakaian yang Direkomendasikan di Tajikistan – yang menguraikan apa yang harus dikenakan wanita Tajikistan untuk berbagai kesempatan.

Tajikistan juga secara tidak resmi melarang janggut lebat. Ribuan pria dalam satu dekade terakhir dilaporkan telah dihentikan oleh polisi dan janggut mereka dicukur di luar keinginan mereka.

Adapun mayoritas atau sekitar 95%-98% penduduk Tajikistan beragama Islam.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *