BANDA ACEH — Menjelang larangan TikTok yang akan berlaku pada 19 Januari 2025 di Amerika Serikat (AS), banyak kreator konten yang mulai beralih ke platform media sosial baru, RedNote dan Lemon8.
Kedua platform ini merupakan aplikasi serupa TikTok yang juga berasal dari China. RedNote, yang lebih spesifik merupakan versi AS dari aplikasi Xiaohongshu yang populer di China, menjadi pilihan utama bagi banyak pengguna.
Pada Senin (13/1/2025) waktu setempat, RedNote berhasil meraih posisi pertama sebagai aplikasi terpopuler di Apple App Store.
Dalam deskripsinya di Google Play Store, RedNote disebut “platform gaya hidup bagi kaum muda untuk berbagi pengalaman, menjelajahi dunia yang nyata, indah, dan beragam, serta menemukan gaya hidup yang mereka inginkan”.
Berbasis di Shanghai, RedNote didirikan pada 2013 silam. Kemunculannya menjadi tantangan bagi Alibaba dan Douyin alias aplikasi TikTok versi China yang sama-sama berperan sebagai media sosial dan e-commerce, dilaporkan CNBC International.
RedNote memiliki 300 juta pengguna aktif per Juli 2024, menurut laporan South China Morning Post (SCMP). SCMP menyebutnya sebagai platform “aplikasi bergaya Instagram tempat konsumen muda berbagi kiat gaya hidup” yang “berusaha menjadi kekuatan baru di pasar e-commerce yang padat di negara ini.”
Sementara itu, Lemon8 merupakan ‘saudara’ TikTok yang sama-sama dimiliki ByteDance yang berbasis di China. Aplikasi ini tersedia secara internasional dan mencakup aplikasi pengeditan video CapCut, serta aplikasi pengeditan foto dan seni Hypic.
Selain Lemon8 dan TikTok, ByteDance juga mengoperasikan Douyin yang mengikuti aturan sensor ketat di China.
Lemon8 diluncurkan di AS pada tahun 2023, beberapa tahun setelah pertama kali muncul di pasar Asia. Meskipun aplikasi ini menarik perhatian sejumlah media dan pengguna pada masa-masa awalnya, aplikasi ini belum berkembang sebanyak TikTok, yang memiliki lebih dari 170 juta pengguna di AS.
Namun, makin banyak orang yang mengunduh aplikasi ini dalam sebulan terakhir, menjadikannya salah satu aplikasi gratis dengan peringkat teratas di toko aplikasi Apple App Store.
Seperti TikTok, feed utama Lemon8 menampilkan bagian “mengikuti” yang memungkinkan pengguna melihat konten dari pembuat yang mereka ikuti dan bagian “For You” yang merekomendasikan postingan lain. Platform baru ini juga mengurutkan postingan ke dalam kategori berbeda, seperti hubungan, kesehatan, dan perawatan kulit.
ByteDance belum mengungkapkan jumlah pengguna Lemon8 secara global atau AS, yang diyakini sangat kecil dibandingkan dengan aplikasi sejenisnya yang sedang tren. Data dari firma riset SameWeb menunjukkan Lemon8 memiliki lebih dari 1 juta pengguna aktif harian di AS.
Menurut perusahaan intelijen pasar Sensor Tower, aplikasi tersebut memiliki 12,5 juta pengguna aktif bulanan global pada 24 Desember 2024.
Update Nasib Blokir TikTok di AS
Pada Jumat (11/1) lalu, Mahkamah Agung masih berencana menegakkan undang-undang yang akan melarang TikTok di Amerika Serikat mulai 19 Januari, kecuali bersedia lepas dari ByteDance.
Mendengar argumen-argumen dalam perselisihan antara kebebasan berpendapat dan masalah keamanan nasional, para hakim tampaknya teryakinkan oleh argumen-argumen bahwa ancaman keamanan nasional yang ditimbulkan oleh koneksi perusahaan tersebut dengan China, dikutip dari NBCChicago, Selasa (14/2/2025).
Di awal perdebatan yang berlangsung lebih dari 2,5 jam, Ketua Mahkamah Agung John Roberts mengidentifikasi kekhawatiran utamanya, yakni kepemilikan TikTok oleh ByteDance yang berbasis di China dan persyaratan perusahaan induk untuk bekerja sama dengan operasi intelijen pemerintah China.
Jika dibiarkan, undang-undang yang disahkan oleh mayoritas bipartisan di Kongres dan ditandatangani oleh Presiden Joe Biden pada April 2024 akan mengharuskan TikTok untuk diblokir permanen pada 19 Januari 2025, kata pengacara Noel Francisco kepada hakim atas nama TikTok.
TikTok, yang menggugat pemerintah tahun lalu atas undang-undang tersebut, telah lama membantah bahwa mereka dapat digunakan sebagai alat mata-mata Beijing.
Perusahaan tersebut bernegosiasi dengan pemerintahan Biden antara tahun 2021 dan 2022 untuk menyelesaikan kekhawatiran seputar privasi data AS dan potensi manipulasi algoritmik.
Dalam dokumen pengadilan, mereka menuduh pemerintah pada dasarnya mengabaikan negosiasi tersebut setelah mereka mengajukan rancangan perjanjian pada Agustus 2022.
Namun Departemen Kehakiman (DOJ) mengatakan pemerintahan Biden menyimpulkan bahwa proposal tersebut “tidak cukup”.
Badan tersebut mengatakan bahwa pihaknya juga tidak dapat percaya ke ByteDance untuk mematuhi atau mendeteksi ketidakpatuhan sebelum terlambat.[]