JAKARTA — Penanews.co.id – Mantan Plt Gubernur Aceh periode 2006–2007, Mustafa Abubakar, berpendapat bahwa masa berlaku Otonomi Khusus (Otsus) Aceh seharusnya diperpanjang dua kali masa konflik.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Badan Legislasi DPR RI mengenai penyusunan perubahan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh di Jakarta, Kamis (13/11/2025), Mustafa menyampaikan bahwa durasi ideal Otsus bagi Aceh sebaiknya mencapai sedikitnya 60 tahun.
Mantan Menteri BUMN di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu menilai bahwa dampak ketimpangan akibat konflik berkepanjangan tidak mungkin diatasi dalam waktu singkat. Oleh karena itu, kebijakan khusus yang mengatur pendanaan dan kewenangan daerah perlu dijalankan dalam jangka panjang agar proses pemulihan berjalan optimal.
Ia mengingatkan bahwa konflik di Aceh berlangsung sekitar tiga dekade, sehingga masa rekonstruksi yang diperlukan secara rasional setidaknya dua kali lebih lama.
Mustafa menegaskan bahwa perbaikan kondisi sosial, ekonomi, dan infrastruktur Aceh tidak bisa tuntas hanya dalam 20 tahun sejak penandatanganan MoU Helsinki.
Jika dibandingkan dengan durasi konflik, Aceh masih memerlukan sekitar 40 tahun tambahan untuk benar-benar mencapai kondisi yang setara dan stabil.
“Kalau dikuantifikasi, logika saya mengatakan mungkin dua kali masa konflik. Kalau konflik 30 tahun, merehabnya barangkali butuh 60 tahun. Kalau misalnya 60 tahun, yang sudah berjalan 20 tahun, berarti butuh sekitar 40 tahun lagi untuk mengejar ketertinggalan baru kira-kira setara (dengan daerah lain),” ungkapnya.
Mustafa menambahkan perbincangan soal jangka waktu Otsus Aceh tidak dapat dilepaskan dari konteks historis dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat Aceh. Ia menyinggung kecemburuan antar daerah mengenai besaran dana Otsus merupakan hal yang wajar, namun perlu dijelaskan secara komprehensif agar tidak menimbulkan perdebatan yang tidak produktif.
Dalam rapat tersebut, Mustafa juga menyinggung kembali masa lalu Aceh di era Orde Baru, terutama terkait eksploitasi sumber daya alam. Ia menyebut kekayaan migas Aceh di masa itu menjadi salah satu penopang besar pendapatan nasional, namun Aceh hanya menerima porsi yang sangat kecil.
Kondisi tersebut, menurutnya, menjadi salah satu faktor yang mendorong munculnya ketidakpuasan ekonomi dan kemudian berkembang menjadi gerakan perlawanan.
“Aceh ini terlalu lama mengalami keterpurukan. Pada zaman Orde Baru, sumber daya alam Aceh misalnya migas Arun menjadi semacam dompet negara untuk pembangunan nasional. Kekayaan alam dikeruk dan digunakan untuk pembangunan nasional, sedangkan bagian yang menetes ke Aceh konon hanya 1 persen,” lanjutnya.
Ia menegaskan motif utama munculnya konflik Aceh bukan semata-mata politik atau agama, melainkan faktor ekonomi yang bertumpuk dengan ketertinggalan pembangunan.
Mustafa menggambarkan kerusakan akibat konflik selama puluhan tahun sangat besar, sementara pemulihan membutuhkan waktu panjang dan perencanaan yang konsisten.
Mustafa berharap pembahasan revisi UU Pemerintahan Aceh dapat menemukan titik temu yang saling menguntungkan. Ia menilai usulan jalan tengah yang muncul dalam rapat tersebut merupakan langkah konstruktif dan dapat menjadi acuan dalam memastikan Aceh memperoleh ruang pemulihan yang cukup.
Menurutnya, bila tujuan utama adalah pemerataan dan keadilan, maka memperpanjang masa berlakunya Otsus Aceh menjadi minimal 60 tahun merupakan pilihan yang logis dan beralasan.[]
Sumber komparatif.id





