ADANYA anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) yang merasa gerah dengan orang dan atau rakyat Aceh sering menyatakan dan menyinggung Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki 2005. Sehingga demikian reaktifnya serta sengit menyatakan “Aceh sedikit-sedikit Helsinki”, selama ini 20 tahun sudah apa yang sudah dilakukan.
Ini menunjukkan bahwasanya, orang Aceh tidak boleh menyebutkan atau tidak menuntut hak serta kewajiban realisasi untuk menyampaikan persoalan dengan kesepahaman MoU Helsinki. Bahkan seolah-olah jika rakyat, orang dan penduduk Aceh menyatakan Helsinki harus “tidak boleh, tabu dan pantang” menyebutkannya.
Sesungguhnya secara realistis, implentasi dan kondisi empirik di Aceh dalam kehidupan kemasyarakatan atau rakyat Aceh, jauh dari cita-cita dan semangat MoU Helsinki.
Karena itu kesepakatan damai dan resmi dilakukan oleh Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), maka konsekwensi logis, normatif dan politik, ini mesti dilaksanakan secara konsiten dan bertanggung jawab.
Selama ini seolah-olah berbicara MoU Helsinki hanya sebatas dana Otonomi Khusus (Otsus), sehingga persoalan Aceh sudah selesai. Makanya berbicara MoU Helsiki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) (UU No 11 tahun 2006) sebagai turunannya, sangat picik serta naif hanya bicara Dana Otsus saja.
Sesungguhnya banyak dari 45 butir poin MoU Helsiki 2005 berusaha dipreteli, dikurangi bahkan diterabas demi kepentingan politik elite politik Aceh dan Pusat, jadi bukan untuk kepentingan rakyat Aceh yang mesti menikmati damai serta perubahan kehidupan serta perbaikan kehidupan ekonomi, sosial-budaya, politik, hukum dan lain sebagainya.
Dengan demikian, banyak kaitannya dengan implementasi sebagai kesepakatan damai Aceh dilanggar serta diterabas seenaknya, jika aturan serta ketentuan hukum bertentangan dengan aturan Pemerinah Pusat RI. Sehingga sampai dengan saat ini, wewenang serta konsekwensi Damai Aceh, sama sekali jauh dari harapan rakyat Aceh yang langsung merasakan dampak konflik dan perang Aceh selama sekitar 32 tahun yang lalu sampai dilaksankan kesepakatan damai.
Jika anggota DPR-RI merasa tidak diperlukan lagi MoU Helsinki, sehingga merasa gerah, risih dan terganggu dengan itu, sebaiknya disampaikan saja kerpa Ketua DPR-RI dan Presiden RI, batalkan saja serta hapus saja MoU Helsinki, karena mengganggu “gendang telinga”, peribadi anda serta partai politik yang menjadi kebanggaan anda menjadi anggota DPR-RI. Karena ini tidak sesuai dengan kepentingan politik anda serta kelompok anda.
Sesungguhnya kondisi rakyat Aceh saat ini tidak dalam keadaan baik-baik saja, sementara itu anda mengeluarkan pernyataan sama sekali tidak memiliki “sense of belonging” terhadap persoalan mendasar rakyat Aceh.
Anggota Dewan tersebut terlalu angkuh, sombong serta arogan merasa segala-gala sebagai pejabat, elite politik DPR-RI. Ini menunjukkan mental penjajah yang menyinggung perasaan rakyat Aceh secara psikologis terhadap rakyat Aceh.
Dengan demikian, jika anda berhasil meyakinkan Ketua DPR-RI dan Presiden RI agar MoU Helsinki dibatalkan serta dihapuskan, dalam tataran serta catatan politik Pemeritah RI terhadap Aceh, maka semangat mental penjajahan anda sukses. Sehingga kita sama-sama akan menikmati kondisi Aceh yang jauh dari rasa damai, semakin terjajah kembali dengan pernyataan “angkuh” anda sebagai wakil rakyat RI, maka ini merupakan pernyataan untuk menciptakan konflik dan era penjajahan baru.
Pada dasarnya bahwa, Pembukaan UUD 1945 menyatakan, “Penjajahan Di atas Muka Bumi Harus dihapuskan, Karena Tidak sejalan dengan Peri Kemanusiaan dan Peri Keadilan”. Dengan demikian, silahkan anda mempengaruhi masa serta pejabat elite politik di Jakarta, agar keinginan dan kepentingan politik anda dapat berhasil menjajah kembali rakyat Aceh melalui pernyataan anda untuk Aceh, yang rakyatnya saat ini belum menikmati secara sesungguhnya hasil Perjanjian Damai MoU Helsinki 2005.
Karena banyak kewenangan politik, ekonomi, sosial-budaya daan lainnya serta banyak butir-butir MoU Helsinki belum terlaksana, termasuk “Self Detremination” yang merupakan dambaan utama bagi rakyat Aceh.[]
Penulis : Dr. Taufiq A Rahim
%%%%%%%%%%
Artikel ini merupakan opini penulis, seluruh isi di luar tanggungjawab redaksi, sepenuhnya tanggungjawab penulis.





