JAKARTA — Penanews.co.id — Pakar Hukum Tata Negara Abdul Chair Ramadhan mengatakan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara perselisihan hasil Pemilu adalah menghitung selisih suara, bukan penyaluran bantuan sosial atau Bansos.
Abdul Chair mengatakan dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (01/04/2024) “MK terikat dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, tepatnya pada Pasal 457 Ayat (2) yang menyatakan bahwa MK berwenang memutuskan perkara perselisihan suara,”
Abdul menjelaskan bansos yang digelontorkan pemerintah sudah sesuai mekanisme, tidak ada kaitannya dengan pemilu.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia itu terkait tuduhan penyalahgunaan bansos di Pilpres 2024 oleh tim hukum pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar maupun nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD, yang dianggap menguntungkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Lanjut dia, ketentuannya itu menjadi standar atau kompetensi absolut, di mana dapat diketahui di pasal 460 juncto 463 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, mengatur kompetensi yang dimiliki oleh Bawaslu, kemudian juga peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2022 tepatnya di Pasal 12 telah menentukan kewenangan Bawaslu, lansir Antara.
“Maka dengan itu dugaannya adalah termasuk atau tergolong pelanggaran administrasi pemilu yang dilakukan secara terstruktur sistematis dan masif (TSM) menjadi ranah domain Bawaslu, bukan domain kewenangan MK. Itu jelas ketentuannya,” katanya menegaskan.
Lanjut Abdul mengatakan wajar jika kemudian tim hukum nomor urut 2 Prabowo-Gibran mengatakan gugatan 1 dan 3 “salah kamar”. Kesalahan dimaksud menunjuk pada kesalahan dalam pengajuan gugatan yang tidak pada tempatnya.
“Dengan demikian tidak ada peluang untuk memperluas atau menafsirkan lain kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal penghitungan suara. Secara argumentum a contrario atau dalam ilmu fikih disebut mafhum mukhlafah, maka selain penghitungan suara adalah bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi,” jelasnya.
Menurut Abdul, jelas bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya terhadap hasil penghitungan suara dengan pendekatan kuantitatif. Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili pelanggaran administratif pemilu, utamanya secara TSM yang notabene pendekatannya adalah kualitatif.
“Keadilan itu adalah dilakukan secara proporsional, menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya. Menempatkan perselisihan terhadap pelanggaran administrasi pemilu secara TSM kepada Mahkamah Konstitusi bukan pada tempatnya, itu tempatnya Bawaslu untuk memeriksa, memutus.
Adapun menempatkan hanya terhadap penghitungan suara calon presiden dan wakil presiden, itu hanya kewenangan Mahkamah Konstitusi,” katanya menegaskan.[]