Pengamat; Setahun Prabowo Berkuasa, Janji Perubahan yang Masih Terlilit Bayang-Bayang Lama

by

SETAHUN sudah Presiden Prabowo Subianto memegang kemudi pemerintahan. Di awal masa jabatan, publik menyimpan harapan besar bahwa pergantian kepemimpinan nasional akan membawa arah baru, membenahi warisan persoalan yang ditinggalkan pemerintahan sebelumnya, dan mengembalikan negara pada jalur reformasi yang sesungguhnya. Namun memasuki tahun pertama, harapan itu belum menemukan pijakan yang kokoh.

Bagi banyak warga, kata “perubahan” kini terasa seperti gema yang belum bersuara. Pola lama masih berulang, sementara tanda-tanda terobosan yang menjawab keresahan publik belum benar-benar tampak. Di akar rumput, masyarakat bertanya, apakah negara ini benar melangkah menuju pembaruan, atau hanya melanjutkan sisa jejak kekuasaan yang selama satu dekade terakhir meninggalkan begitu banyak persoalan?

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) memang mencuri perhatian, tetapi persoalan implementasinya justru membuat publik waswas. Di beberapa daerah, program ini berjalan tersendat; di tempat lain, muncul cerita soal kualitas makanan yang tak sesuai harapan. Bagi para pengkritik, ini bukan sekadar kelemahan teknis, melainkan cermin dari tata kelola yang belum siap. Program populis tanpa pengawasan kuat mudah menjadi ladang rente. Rakyat Aceh paham benar bagaimana sebuah niat baik bisa berubah menjadi celah baru penyimpangan.

Di sisi lain, penegakan hukum yang sejak awal menjadi harapan masyarakat untuk membongkar kasus-kasus besar di BUMN, proyek strategis nasional, maupun dugaan penyimpangan pejabat, belum menunjukkan langkah signifikan. Publik menantikan keberanian politik, bukan sekadar pernyataan. Namun yang terasa justru mandeknya penyelesaian kasus yang menyangkut elite, lambatnya proses hukum, dan kesan bahwa hukum masih berhitung soal siapa yang disentuh dan siapa yang tidak.

Kondisi ini diperparah oleh kecenderungan pemerintah mengandalkan satgas untuk hampir semua persoalan. Pendekatan cepat seperti ini memang terlihat gesit, tetapi di saat bersamaan memperlihatkan lemahnya institusi yang seharusnya bekerja menjalankan fungsi negara. Bila semua masalah ditangani dengan cara “operasi darurat”, lalu kapan institusi diperkuat? Masyarakat tak butuh negara yang bekerja tergesa, tetapi negara yang bekerja tuntas.

Yang tak kalah menjadi perhatian adalah masuknya sejumlah figur dekat pemerintahan sebelumnya ke lingkar utama Istana. Publik wajar bertanya: di mana letak garis perubahan bila aktor-aktor lama justru kembali duduk di meja kendali? Sementara beberapa menteri yang sebelumnya dikritik masyarakat tetap dipertahankan. Seolah-olah masa lalu yang dianggap bermasalah bukanlah beban, melainkan harus dibawa kembali ke panggung pemerintahan.

Narasi politik menuju 2029 pun menambah panjang daftar kekhawatiran. Masyarakat yang sudah lelah dengan drama kekuasaan masa lalu kini dihadapkan pada potensi tarik-menarik kepentingan yang bisa mengganggu stabilitas pemerintahan. Bagi rakyat kecil, pertanyaan sederhana saja yang muncul: kapan pemerintah benar-benar bekerja untuk mereka, bukan untuk lingkar-lingkar politik yang menghitung peluang?

Namun di balik seluruh kritik itu, ada satu hal yang tak pernah padam: harapan. Harapan bahwa Presiden Prabowo masih memiliki ruang untuk memperbaiki arah. Harapan bahwa kepemimpinan saat ini masih bisa berdiri di atas kepentingan rakyat, bukan pada bayang-bayang kekuasaan yang pernah dominan. Harapan bahwa negara ini tak harus kembali pada pola lama yang membuat masyarakat semakin jauh dari rasa keadilan.

Rakyat Aceh, dan rakyat Indonesia pada umumnya, telah berkali-kali membuktikan bahwa suara mereka tak mudah dibungkam. Mereka tak menuntut hal yang rumit, hanya pemerintahan yang bekerja jujur, tegas, dan berpihak. Bila tuntutan sederhana ini diabaikan, wajar bila kepercayaan publik merosot dan kritik menguat.

Pemerintahan Prabowo masih memiliki waktu, tetapi waktu itu tidak panjang. Setahun pertama selalu menjadi dasar penilaian, apakah sebuah pemerintahan bergerak menuju reformasi, atau kembali larut dalam arus lama yang sudah terlalu sering mengecewakan. Jalan menuju perubahan masih terbuka, tetapi langkah-langkah penting harus diambil kini, bukan nanti.

Karena rakyat sudah terlalu sering menunggu, dan negeri ini sudah terlalu lama dibebani oleh janji perubahan yang tak kunjung menjadi kenyataan.[]

Penulis : Sri Radjasa (Pemerhati Intelijen)

%%%%%%%%%%%%

Artikel ini merupakan opini penulis seluruh isi di luar tanggungjawab redaksi, sepenuhnya tanggungjawab penulis

ya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *