Taufik A Rahim; Abaikan Saja Revisi UUPA Tidak Masuk Prolegnas

by
Dr. Taufiq A. Rahim

​BAGI sebahagian orang yang memiliki kepentingan politik, berharap bahwa, Revisi Nomor 11 Tahun 2006, tentang Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) dan program legislasi prioritas (prolegtas) 2025-2029, sebagai pembahasan dan penetapan pada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).

Pada dasarnya praktik revisi UUPA selama ini sering dilakukan selama 15 tahun terakhir dan atau setiap pergantian kepemimpinan Aceh, baik legislatif maupun eksekutif. Dimana pekerjaan yang dijadikan proyek dan program yang menghabiskan uang rakyat ini, juga ternyata sangat getol digiring, didukung serta dikerjakan oleh orang-orang tertentu, dengan alasan untuk perbaikan dan perubahan Aceh serta rakyat Aceh.

Pekerjaan konyol ini secara politik dan mengatur aturan hukum di Aceh ternyata secara rasional dan realistis selama ini hanya bullshit dan “omong-kosong” belaka, tidak lebih usaha menghabis-habiskan serta menghamburkan uang rakyat.

​Sesungguhnya UUPA merupakan subordinat politik dari Undang-Undang serta aturan secara nasional yang bersifat sentralistik dari Pemerintah Indonesia, bahkan jauh posisinya dibawah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sehingga apabila ada keinginan untuk melakukan implementasi terhadap UUPA dan turunannnya Qanun Aceh, jika bertentangan dengan aturan serta perundang-undangan secara nasional, acapkali diabaikan, bahkan digerus dan digilas pasal-pasal UUPA dengan aturan serta instruksi yang berlaku secara politik sentralistik Inbdonesia.

Maka, jika dikatakan bahwa UUPA merupakan lex specialist dari kesepakan damai Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki 15 Agustus 2005, sangat berpotensi hanya melakukan manipulasi hukum tururan MoU Helsinki sekedar menina- bobokkan rakyat Aceh, yang seolah-olah sudah berdamai dari konflik Aceh selama sekitar 32 tahun. Menjadikan kehidupan yang baik, damai, makmur, sejahtera, jauh dari penindasan, diskriminasi, konflik dan penjajahan.

Ternyata kesepahaman damai Aceh hanya kamuflase dan secara realistik tidak berubah dari kondisi kehidupan ketidakadilan, diskriminasi serta neo-colonialism. Sudah berulangkali Aceh “tertipu”, dikhianati dari kebaikannya, juga memiliki sidrom “cepat lupa” dari perlakuan yang tidak adil dan terjajah, baik secara fisik, politik, ekonomi sosial-budaya serta berbagai dimensi kehidupan secara keseluruhannnya.

​Karena itu, setelah 20 tahun Damai Aceh ternyata lex-specialist yang diagung-agungkan seolah-olah Aceh dengan MoU Helsinki dari 45 butir pasal yang ada di dalamnya, kemudian sedikit demi sedikit diabaikan, digerus, dilanggar dan tidak dapat dilaksanakan secara konsisten serta konsekwen, jika tidak sesuai dengan kepentingan politik sentralistik Pemerintah Pusat Indonesia. Sehingga kesan setelah tidak dapat dilaksanakan berbagai butir-butir turunannya pada UUPA, para elite politik Aceh mengambil sikap diam dan patuh saat UUPA yang paling prinsipil, termasuk Pilkada Aceh pada Pasal 65 dibaikan.

Bahkan konyolnya ada yang mencari kesempatan untuk pekerjaan revisi UUPA yang sudah berulang-ulang dilakukan, hanya menjadi dokumen tidak berharga, juga pernah dibuat dalam bentuk buku pada saat dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa, UUPA yang disahkan oleh DPR-RI hanya mainan elite politik saja.

Demikian juga, jika ada elite pemimpin serta aktor politik Aceh sibuk mempersoalkan kebijakan politik anggaran, seperti terus meminta-minta atau mengemis Dana Otonomi Khusus (Otsus) sebagai bancakan anggaran yang hanya untuk kepentingan elite politik eksekutif, legislatif dan yudikatif yang menikmatinya dengan berbagai program dan proyek fisik dan pengadaan barang dan jasa. Sehingga semuanya hanya memperkaya individu, orang, sekelompok orang elite politik yang hanya menikmati serta menjadikannya sebagai lahan serta lumbung memperbesar pundi-pundi kekayaan belaka yang diperebutkan.

Sementara itu, dana Otsus sama sekali tidak merubah kehidupan perekonomian rakyat Aceh yang paling mendasar, termasuk pendapatan perkapita rakyat Aceh, rata-rata sekitar 2.400 US$ perkapita per tahun.

Dengan demikian, abaikan saja jika Pemerintah Pusat RI, yang memusatkan kekuasaan politiknya yang bersifat sentralistik, serta terkesan neo-liberal, neo-colonialism dan sangat tidak adil terhadap Aceh. Termasuk kecil dan atau tidak adanya wewenang politik, kekuasaan, pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi, sehingga tidak signifikan dengan konsistensi Perdamaian Aceh melalui MoU Helsinki. Maka sebaiknya rakyat Aceh juga dapat menentukan pilihannnya selaras poin Self Determination dan Self Government yang tertuang dalam MoU Helsinki.

Sehingga abaikan saja berkenaan dengan tidak masuknya UUPA dalam prolegnas dan prolegtas 2025-2029. Alangkah baiknya, berfikir tentang “Qanun Meukuta Alam” sebagai konsekwensi politik Self Determination of Aceh, sehingga melepaskan ketergantungan politik (political independent) yang memiliki nilai politis yang lebih bermartabat. Maka itu, tidak perlu mengemis-ngemis dengan revisi UUPA, janji-janji kosong lex specialist, ketergantungan politik anggaran dana Otsus yang tidak memiliki dampak bagi kehidupan rakyat Aceh, yang prinsipil terlepas dari keterjajahan yang terpusat serta sentralistik. Sehingga Pemerintah Aceh dapat membangun Aceh tanpa harus memiliki ketergantungan kepada Pemerintah Pusat RI yang selalu melakukan “pengkhianatan” berulang-ulang sejak Indonesia Merdeka tahun 1945.

Dengan demikian, peran Aceh terhadap Indonesia sebagai daerah modal membantu kemerdekaan Indonesia, juga turunan perlakuannya yang seringkali tidak menghargai hak azasi manusia (HAM) terhadap rakyat Aceh, sudah selayaknya serta sepantasnya Pemimpin Aceh dan seluruh elemen rakyat Aceh berfikir rasional, dengan prinsip menentukan pilihan yang menjunjung tinggi harkat dan martabat Aceh.
​————
Penulis : Dr. Taufiq A. Rahim,.Pengamat Politik dan Kebijakan Publik

===============

Artikel ini merupakan opini penulis, seluruh isi diluar tanggungjawab redaksi, sepenuhnya tanggungjawab penulis

ya

Response (1)

  1. Kanapa yaa Rakyat Aceh selalu kena Tipu dari jakarta?! Mulai dari Soekarno sampai sekarang semua perjanjian tidak mereka tepati… dimana salah nya?!

Leave a Reply to Putra Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *