JAKARTA – Penanews.co.id — Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VII menghasilkan panduan hubungan antarumat beragama, salah satu yang diputuskan adalah mengenai hukum salam lintas agama.
“Penggabungan ajaran berbagai agama, termasuk pengucapan salam dengan menyertakan salam berbagai agama dengan alasan toleransi dan/atau moderasi beragama, bukanlah makna toleransi yang dibenarkan,” demikian salah satu poin keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia yang dibacakan oleh Ketua SC yang juga Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, Kamis (30/5/2024), seperti diberitakan detikNews.
Dalam hasil ijtima ulama tersebut, pengucapan salam merupakan doa yang bersifat ubudiah. Karena itu, pengucapan salam harus mengikuti ketentuan syariat Islam dan tidak boleh dicampuradukkan dengan ucapan salam dari agama lain.
“Pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram,” demikian poin lanjutan panduan yang dikeluarkan ijtima ulama.
Berikut hasil lengkap dari Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia mengenai panduan hubungan antarumat beragama :
PANDUAN HUBUNGAN ANTARUMAT BERAGAMA
A. Prinsip Hubungan Antar Umat Beragama
- Prinsip dasar hubungan antar umat beragama dalam Islam adalah sebagai berikut:
a. Islam menghormati pemeluk agama lain dan menjamin kebebasan umat beragama dalam menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya dengan prinsip toleransi (al-tasamuh), sesuai dengan tuntunan al-Quran “lakum dinukum wa liyadin” (untukmu agamamu dan untukku agamaku), tanpa mencampuradukkan ajaran agama (sinkretisme).
b. Dalam masalah muamalah, perbedaan agama tidak menjadi halangan untuk terus menjalin kerja sama (al-ta’awun) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara harmonis, rukun dan damai.
- Umat Islam tidak boleh mengolok-olok, mencela dan/atau merendahkan ajaran agama lain (al-istihza`).
- Antarumat beragama tidak boleh mencampuri dan/atau mencampuradukkan ajaran agama lain.
B. Fikih Salam Lintas Agama
- Penggabungan ajaran berbagai agama termasuk pengucapan salam dengan menyertakan salam berbagai agama dengan alasan toleransi dan/atau moderasi beragama bukanlah makna toleransi yang dibenarkan.
- Dalam Islam, pengucapan salam merupakan doa yang bersifat ubudiah, karenanya harus mengikuti ketentuan syariat Islam dan tidak boleh dicampuradukkan dengan ucapan salam dari agama lain.
- Pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram.
- Pengucapan salam dengan cara menyertakan salam berbagai agama bukan merupakan implementasi dari toleransi dan/atau moderasi beragama yang dibenarkan.
- Dalam forum yang terdiri atas umat Islam dan umat beragama lain, umat Islam dibolehkan mengucapkan salam dengan Assalamu’alaikum dan/atau salam nasional atau salam lainnya yang tidak mencampuradukkan dengan salam doa agama lain, seperti selamat pagi.
C. Fikih Toleransi dalam Perayaan Hari Raya Agama Lain
- Setiap agama memiliki hari raya sebagai hari besar keagamaan yang biasanya disambut dengan perayaan oleh penganutnya.
- Setiap umat Islam harus menjalankan toleransi dengan memberikan kesempatan kepada umat agama lain yang sedang merayakan ritual ibadah dan perayaan hari besar mereka. Bentuk toleransi beragama adalah:
a. Dalam hal akidah, memberikan kebebasan kepada umat agama lain untuk melaksanakan ibadah hari raya sesuai keyakinannya dan tidak menghalangi pelaksanaannya.
b. Dalam hal muamalah, bekerja sama secara harmonis serta bekerja sama dalam hal urusan sosial bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
- Toleransi umat beragama harus dilakukan selama tidak masuk ke dalam ranah akidah, ibadah ritual dan upacara-upacara keagamaan, seperti: mengucapkan selamat hari raya agama lain, menggunakan atribut hari raya agama lain, memaksakan untuk mengucapkan atau melakukan perayaan agama lain atau tindakan yang tidak bisa diterima oleh umat beragama secara umum.
- Beberapa tindakan sebagaimana yang dimaksud dalam angka nomor 3 dianggap sebagai mencampuradukkan ajaran agama.
Acara Ijtima Ulama Fatwa ini diikuti oleh 654 peserta dari unsur pimpinan lembaga fatwa ormas Islam tingkat pusat, pimpinan Komisi Fatwa MUI se-Indonesia, pimpinan pesantren tinggi ilmu-ilmu fikih, pimpinan fakultas syariah perguruan tinggi keislaman, perwakilan lembaga fatwa negara ASEAN dan Timur Tengah, seperti Malaysia dan Qatar, individu cendekiawan muslim dan ahli hukum Islam, serta para peneliti sebagai peninjau.[]