Menjaga Harmoni Antara Taat dan Mengritik Pemerintah

by
Ilustrasi

Pemimpin memegang peranan krusial dalam suatu pemerintahan, menempati posisi yang mulia berkat tanggung jawab besar sebagai lembaga eksekutif. Ia bertugas membawa kemaslahatan dan menjaga kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, setiap warga negara memiliki kewajiban untuk menaati pemimpin yang sah, karena kepatuhan ini adalah jaminan bagi kewibawaan dan stabilitas pemerintahan.

Sungguh sulit dibayangkan jika setiap kebijakan pemimpin selalu ditentang oleh rakyatnya. Jika kondisi ini berlangsung, tidak menutup kemungkinan akan muncul instabilitas politik, yang pada gilirannya dapat memicu krisis dalam berbagai aspek kehidupan sosial.

Islam sendiri menjunjung tinggi seorang pemimpin. Ketaatan kepada pemimpin menjadi bagian dari taat kepada Allah saw dan Rasul-Nya. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an surat An Nisa’ ayat 59, Allah saw berfirman:  

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS An-Nisa’: 59).  

Abu Ja’far At-Thabari mengatakan, maksud ulil amri dalam ayat ialah kepala negara atau pemimpin dalam suatu pemerintahan. Ia menyampaikan:

  حدثني أبو السائب سلم بن جنادة قال، حدثنا أبو معاوية، عن الأعمش، عن أبي صالح، عن أبي هريرة في قوله:”أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم”، قال: هم الأمراء  

Artinya: “Menceritakan Abu Saib Salam bin Junadah kepadaku, ia berkata, Abu Muawiyah menceritakan kepada kami, dari ‘Amasy, dari Abi Shalih, dari Abu Hurairah dalam firman Allah: ‘taatilah Allah dan taatilah Rasul serta ulil amri’, ia berkata: mereka adalah pemimpin.” (Jami’ul Bayan, [Mekkah, Dar Tarbiyah wat Turats: tt], juz VIII, halaman 495).

Patuh dan taat kepada pemimpin menjadi pilar paling penting dalam kehidupan bernegara. Sepanjang aturan dan kebijakan pemimpin tidak bertentangan dengan syariat, maka ia wajib dipatuhi. Ibnu Hajar Al-Haitami menjelaskan:

Baca Juga:  Uji Test Baca Al Qur’an Bukan Hanya Prosesural Hukum Formal

  تجب طاعة الإمام فى أمره ونهيه ما لم يخالف الشرع أى بأن لم يأمر بحرم  

Artinya, “Wajib menaati pemimpin dalam perintah dan larangannya selama tidak bertentangan dengan syariat, artinya dia tidak memerintah parkara haram” (Tuhfatul Muhtaj, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: t.t.], jilid III, halaman 71).  

Kendati terdapat kewajiban menaati pemimpin, Islam juga menyediakan ruang kepada warga negara untuk menyampaikan kritik. Dalam hukum Islam memberi nasehat dan kritik kepada pemerintah sah-sah saja dilakukan, bahkan termasuk bagian dari amar ma’ruf nahi munkar, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:  

 وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ  

Artinya: “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali ‘Imran: 104).  

Dalam konteks negara demokrasi seperti Indonesia, mengkritik merupakan bagian kebebasan berekspresi sebagai hak asasi manusia yang legal dan konstitusional. Mengkritik pemerintah penting dilakukan sebagai salah satu mekanisme checks and balances dalam menjaga kestabilan pemerintahan, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan mencegah tindakan yang melanggar undang-undang dan konstitusi.  

Kritik yang konstruktif dapat membantu mengontrol para pengelola negara agar bisa menjalankan amanahnya dengan baik. Selain itu, kritik kepada pemerintah mencerminkan kesadaran warga negara dalam mengawal jalannya dinamika pemerintahan.

Namun demikian, warga negara tidak boleh mengabaikan etika dan kepatutan dalam menyampaikan kritik dan masukan agar kritik sebagai sarana mengontrol dan menjaga kestabilan pemerintahan dapat terwujud tanpa merusak tatanan sosial dan politik.  

Islam telah mengajarkan umatnya agar menyampaikan kritik dengan cara yang baik dan penuh etika sopan santun. Kritik dan nasehat tidak boleh dilakukan dengan cara anarkis, mengeluarkan ujaran kebencian, dan lain semacamnya. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an:  

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ   

Baca Juga:  Pemerintah Tetapkan Idul Adha1445 H Jatuh pada 17 Juni 2024

Artinya: “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS Surat An-Nahl: 125).  

Ayat di atas mengajarkan cara berdialog dengan baik sesama manusia, dengan mengedepankan hikmah dan cara yang halus, tidak menggunakan kata-kata kasar dan tindak kekerasan. Ayat ini penting dijadikan pegangan dalam menyuarakan aspirasi di muka umum. Kebebasan berekspresi sebagai bagian dari demokrasi harus dilakukan dengan cara-cara yang baik dan penuh etika.  

Imam Al-Ghazali menjelaskan, amar ma’ruf kepada pemimpin tidak boleh menggunakan cara kekerasan, karena akan memicu terjadinya fitnah dan menimbulkan kerusakan yang lebih besar di tatanan masyarakat.

Karena itu, ia menekankan bahwa amar ma’ruf kepada pemimpin sebaiknya dilakukan dengan menyampaikan kebenaran dan nasehat yang baik. Ia menjelaskan:

قَدْ ذَكَرْنَا دَرَجَاتِ الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوْفِ وَإِنَّ أَوَّلَهُ التَّعْرِيفُ وَثَانِيْهِ الْوَعْظُ وَثَالِثَهُ التَّخْشِينُ فِي الْقَوْلِ وَرَابِعُهُ الْمَنْعُ بِالْقَهْرِ فِي الْحَمْلِ عَلَى الحَقِّ بِالطَّرْبِ وَالْعُقُوْبَةِ، وَالْجَائِزُ مِنْ جُمْلَةِ ذَلِكَ مَعَ السلاطين الرتبتَانِ الأَوَّلَيَانِ وَهُمَا التَّعْرِيفُ وَالْوَعْظُ، وَأَمَّا الْمَنْعُ بِالْقَهْرِ فَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَحَادِ الرَّعِيَّةِ مَعَ السُّلْطَانِ ؛ فَإِنَّ ذَلِكَ يُحَرِّكُ الْفِتْنَةَ وَيُهَيجُ الشَّرِّ وَيَكُونُ مَا يَتَوَلَّدُ مِنْهُ مِنَ الْمَحْذُوْرِ أَكْثَرَ  

Artinya, “Telah kami jelaskan tingkatan memerintah kebaikan, yaitu: pertama memberi pengertian, kedua memberi nasehat, ketiga berbicara kasar, keempat mencegah dengan kekerasan agar mau melakukan kebaikan dengan memukul dan memberi hukuman.   

Adapun cara yang diperbolehkan dari cara-cara itu dalam menghadapi pemimpin adalah dua cara pertama, yaitu memberi pengertian dan memberi nasehat. Sedangkan mencegah dengan kekerasan, maka bukan kewenangan individu dari rakyat, karena dapat memicu terjadinya fitnah, menyebabkan kerusakan yang timbul darinya menjadi lebih besar.” (Ihya’ Ulumiddin, [Beirut, Darul Ma’rifah: t.t.], jilid II, halaman 343).  

Baca Juga:  TB. Rahmad Sukendar, SH; Korupsi Musuh bersama yang Harus Kita Berantas Bersama

Kisah Nabi Musa dan Nabi Harun dalam Al-Qur’an dapat dijadikan teladan dalam mengkritik pemimpin.

Dalam surat Thaha ayat 44, Allah saw memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun agar mengkritik Fir’aun dengan lemah lembut, kendati Fir’aun adalah raja yang sangat kejam. Allah saw berfirman:  

اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ، فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

Artinya, “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut”. (QS Thaha: 43-44).  

Ibnu Katsir mengatakan, ayat di atas mengandung pelajaran yang sangat agung. Fir’aun merupakan pemimpin yang jahat dan sangat angkuh, sementara Nabi Musa adalah manusia pilihan Allah saw. Namun Allah saw tetap menyuruh Nabi Musa berdialog dengan Fir’aun dengan cara yang halus dan lembut.  

Karena itu, sangat disayangkan bila di era sekarang masih ada oknum yang masih menggunakan cara kekerasan dalam menyampaikan kritik. Padahal kita tahu, tidak ada pemimpin sekejam Fir’aun. Kebebasan dalam menyampaikan pendapat tidak semestinya mengabaikan etika kesopanan terhadap pemimpin.  

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa mematuhi pemimpin mutlak menjadi kewajiban bagi warga negara selama perintah dan kebijakannya tidak bertentangan dengan syariat. Membangkangan kepada pemerintah yang sah tidak boleh dilakukan dengan alasan apapun.  

Di sisi lain, warga negara juga berhak ikut andil dalam mengontrol dan mengawasi kinerja pemimpin dengan aktif memberikan nasehat dan kritik yang konstruktif. Namun demikian, kritik dan masukan harus disampaikan dengan etika tanpa mencederai martabat seorang pemimpin. Wallahu a’lam.

Sumber: islam.nu.or.id

Ditulis Ustadz Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan Madura

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.