Mafia Anggaran dan Permasalahan APBA

by
Dr. Taufiq A Rahim, SE, M.Si, Phd | foto Ist

Permasalahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tahun 2024 yang direncanakan sebesar Rp 11.024.052.017.694 saat ini per 20 September 2024 oleh Pemerintah Aceh telah merealisasikan anggaran pendapatan sebesar Rp 7.537.172.058.742 (Rp 7 triliun lebih) atau dapat dinyatakan sekitar 68,37 persen. Ini berdasarkan APBA 2024 yang direncanakan Rp 11.024.052.017.694 (Rp 11 triliun lebih). Sehingga postur anggaran belanja publik Aceh yang direalisasikan memperlihatkan penggunaan angaran tersebut masih menjadi permasalahan ke mana sesungguhnya dimanfaatkan.

​Ini semua tidak terlepas dari pada polemik, antara Pemerintah Aceh (eksekutif) yang dilaksanakan program dan proyeknya oleh Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), melalui perencanaan dan petetapan program dan proyek dibawah kendali Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA), yang disinyalir menggunakan APBA secara tidak transparan dan terindikasi melaksanakan proyek siluman, proyek fiktif dan penggelembungan anggaran.

Permasalahan ini di lapangan terhadap pengawasan yang dilakukan oleh legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh/DPRA) mempertanyakan berbagai persoalan saat melakukan evaluasi lapangan. Ternyata berbagai proyek dan program, serta pengadaan barang dan jasa pelaksanaan yang dikendalikan oleh dikendalikan oleh “mafia anggaran” yang sudah sangat lama, paham dan menguasai anggaran belanja APBA Aceh, sangat sulit sekali tersentuh hukum. Sehingga “mafia anggaran” ini dikendalikan oleh orang dan elite tertentu dengan sejumlah anteknya menguasai uang dan dana APBA melalui TAPA yang merupakan representasi orang atau pejabat yang ditempat “by order” oleh “mafia anggaran” dan oligarki tertentu.

​Demikian juga berkaitan dengan kuantitaif anggaran yang jumlah yang telah direncanakan tersebut, maka anggaran yang telah dihabiskan sebesar Rp 6.758.873.501.093 (Rp 6 triliun lebih) atau 59,05 persen dari yang direncanakan sebesar Rp 11.446.052.017.694 (Rp 11 triliun lebih). Maka perubahan anggaran belanja melalui APBA-P yang ikut mempengaruhi postur dan pemanfaatan anggaran, ini ternyata ada polemik baru bahwa, sebahagian besar program dan proyeknya tidak jelas, maka pihak legislatif pada masa peralihan berusaha untuk meminta kejelasan terhadap penggunaan anggran tersebut, yang juga disinyalir ada permainan “mafia anggaran” juga mantan pejabat atau elite tertentu dengan beberapa orang temannya yang syudah sangat paham dalam memanfaatkan anggaran APBA.

Baca Juga:  Usman Lamreung; Dilema Om Bus, Mencari Sosok Pengganti Tu Sop

Pengesahan APBA-P yang berlangsung dengan cepat tidak terlepas dari pada kepiawaian “mafia anggaran”, baik yang berada pada posisi eksekutif, TAPA, LPSE dan SKPA yang sudah sangat lihai mempermainkannya.

Disamping itu, diperkirakan ada penerimaan sebesar Rp 473.295.918.241 atau 100,06 persen dari yang direncanakan sebelumnya Rp 473.000.000.000 dari Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SILPA) tahun anggaran sebelumnya. Ini dikhawatirkan akan dipergunakan pada saat menjelang akhir tahun, meskipun anggaran juga diperkirakan akan terjadi SILPA tahun ini dalam kondisi politik dan pemanfaatan anggaran belanja publik yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik kelompok dan fihak tertentu melalui perpanjangan tangan “mafia anggaran” di Aceh. Hal ini tidak semstinya berlangsung jika fungsi legislacy, angaran (budget) dan pengawasan (control) dapat dimaksimalkan oleh legislatif.

Bahwasanya, dari anggaran tersebut, artinya, Pemerintah Aceh telah mendapatkan dana dari pemerintah pusat sebesar Rp 7,5 triliun lebih dan yang sudah dihabiskan Rp 6,7 triliun lebih. Sehingga, Pemerintah Aceh masih memiliki anggaran sebesar Rp 778 miliar lebih.

Seandainya hal ini tidak mendapatkan pengawasan atau kontrol yang ketat dari DPRA dan pihak terkait sebagai pengawasan anggaran atau uang negara yang juga berasal dari rakyat, dapat dipastikan bahwa uang dan dana tersebut dimanfaatkan, dirampok dan dikorupsi dengan menggunakan tangan-tangan kotor yang ada di Pemerintah Aceh, sehingga sama sekali rakyat Aceh tidak mendapatkan manfaat secara ekonomi dan stimulus makroekonomi dari dana yang berasal dari pusat, dan juga dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu dengan cara yang jahat dan konspirasi politik elite politik Aceh dan beberapa antek yang ikut terlibat.

Kemudian dari yang sementara itu, sisa anggaran pendapatan dari pemerintah pusat ke pemerintah Aceh sebesar Rp 3,48 triliun lebih, ini segera diselesaikan sisa sekitar 2,5 bulan ke depan sampai tahun anggaran 2024. Ini juga telah menjadi incaran orang, elite dan kelompok tertentu untuk digunakan program dan proyek serta pengadaan barang dan jasa dibawah kendali “mafia anggaran, karena mereka melakukan lobby sampai ke pusat. Hal yang sangat praktis dilakukan adalah, program pelatihan serta peningkatan kapasitas pegawai negeri sipil dan aparatur sipil negara (PNS/ASN) di Pemerintahan Aceh, juga seluruh Aceh sehingga penginapan dan hotel-hotel telah penuh dengan pesanan.

Baca Juga:  BPI KPNPA RI : Apakah Polisi Harus Tetap Ada Di Tengah Masyarakat ?

Ini juga adanya keterlibatan para “mafia anggaran” agar anggaran tersebut dapat terserap pada sisa tahun anggaran, juga diusahakan adanya setingan sedikit SILPA, agar dinytakan maksimal terhadap kinerja Pemerintah Aceh dalam memanfaatkan anggaran belanja publik APBA dan APBA-P nya.

Karena pada dasarnya keberadaan mereka para “mafia anggaran” sudah sangat diketahui secara umum dan para PNS dan ASN di Aceh, juga sangat akrab dan sering berhubungan dengan Pemerintah Pusat, bahkan memanfaatkan aparat penegak hukum tertentu. Sehingga sangat sulit tersentuh hukum dan masih mampu mengendalikannya, karena selama ini berbagai uang, dana anggaran belanja publik APBA telah berhasil dirampok dan dikuasai.

Juga memiliki ruang kerja secara terstruktur, sistematis dan masif sangat paham terhadap postur serta memanfaatkan APBA secara dengan berbagai penyelewengan dan manipulasi melibatkan beberapa oknum “trias politica”. Bahkan disinyalir ada orang tertentu selama ini memanfaatkan APBA untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya masih tetap berada di Jakarta atau sekitar kekuasaan Pemerintah Pusat.

Dengan demikian diperlukan kapasitas, kemampuan anggota DPRA yang baru akan diuji kompetensi anda untuk mengawasi APBA dari perampukan dan pecurian yang dilakukan kelompok “mafia anggaran” jika ingin memenuhi janji kampanye yang disampaikan sebelumnya, atau jika terlibat juga jangan salahkan rakyat Aceh jika dianggap perilaku politiknya sama dengan para senior yang culas dan tidak bertanggung jawab terhadap pencurian anggaran belanja public APBA.

Dapat dipahami selama ini berbagai pelanggaran dan penyelewengan anggaran APBA sama sekali tidak memiliki kejelasan dan penegakan hukum yang sebenarnya secara berkeadilan, yang telah merugikan Aceh menjadikan rakyat Aceh tetap miskin.
————
Penulis Dr. Taufiq A Rahim, SE, M.Si, Phd Pengamat Ekonomi dan Kebijakan Publik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.