Pembicaraan publik Aceh semakin seru dan hangat, bahwa direbut dan hilangnya 4 pulau di Aceh Singkil pada kawasan Pulau Banyak.
Ini merupakan ujian berat bagi Gubernur Aceh, karena berhubungan dengan harta benda, aset dan tanah Aceh dengan keputusan politik yang disahkan oleh Pemerintah Pusat, melalui Surat Keputusan yang ditanda tangani oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia (Mendagri RI).
Sehingga, ini menambah daftar panjang tugas politik dan kebijakan Gubernur Aceh, juga diuji kredibitas, kapasitas, kompetensi politik serta keberanian Gubernur Aceh, yang pernah menjadi Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Hal yang prinsipil adalah, sebagai elite Pemimpin Aceh dan Ketua Partai Politik Lokal (Partai Aceh), mesti memperlihat, menunjukkan serta membuktikan eksistensinya terhadap rakyat Aceh.
Hal ini tentu saja, bukan hanya sebagai Gubernur Aceh yang menyatakan sebagai pilihan politik, akan tetapi sebagai mantan pejuang GAM dan putra Aceh, mesti memperlihatkan jati diri yang sesungguhnya sebagai orang Aceh. Karena selama ini terkesan bahwa, marwah Aceh terus dipermainkan, dinjak-injak, didiskriminasi, bahkan terjajah oleh kepentingan Pemeintah Pusat, termasuk Provinsi Sumatera Utara yang terus saja ingin menguasai serta merebut tanah dan wilayah Aceh, juga seluruh sumber daya alam (resources) Aceh.
Ini berlaku sejak Aceh terpaksa bergabung serta mengakui dan mendukung Kemerdekaan Indonesia. Hingga saat ini terus diperlakukan secara tidak adil, diskriminatif dan terjajah (neocolinialisme politics) secara realitas, terhadap kebijakan politik, ekonomi, sosial budaya dan lainnya, sehingga ditambah dengan stigma negatif terhafap Aceh sebagai modal politik serta sejarah Indonesia Merdeka.
Oleh karena itu, diperlukan keberanian, ketegasan, sikap polirik dan kebijakan, diplomasi serta marwah Gubernur Aceh terhadap 4 Pulau Aceh yang direbut serta dirampas senena-mena.
Dengan demikian, jika benar dan benar-benar sebagai elite Pemimpin Aceh yang sah, maka mesti diperjuangkan dan dikembalikan ke-4 Pulau tersebut sebagai harta sah kekayaan Aceh dengan berbagai konsekwensi logis, politik, etika-moral serta marwah bangsa Aceh yang selama ini terus tercabik-cabik.
Maka mesti ditunjukkan kepada Indonesia dan dunia bahwa, Aceh adalah sebuah bangsa yang berperdaban/tamaddun, bangsa yang memiliki harkat dan martabat yang tinggi.
Karena jika merujuk MoU Helsinki (2005), ini sebiah pelanggaran perjanjian damai dari penyelesaian konflik Aceh dengan RI, yang saat ini juga menjadi pantauan internasional. Sehingga, petsialan 4 Pulau Aceh di Aceh Singkil, kawasan Pulau banyak menjadi sebuah uji kredibiltas Gubernur Aceh yang mesti dihadapi dengan berbagai konsekwensinya.
Jadi bukan hanya Gubernur Aceh jika anda berani dan benar, dapat dipastikan rakyat Aceh berada dibelakang anda. Ini harkat dan martabat Aceh dan atau rakyat Aceh.
————
Dr. Taufiq A. Rahim
Pengamat Politik dan Kebijakan Publik
