“Mengapa mereka tidak mau beriman? Dan apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud”. (al-Insyiqaaq: 20-21)”
Orang yang melakukan ketundukkan, kepatuhan, ketaatan, membungkukkan badan, mengagungkan-Nya disebut dengan saajidun, meskipun pada kenyataannya mungkin ia tidak membungkuk atau merunduk atau bahkan meletakkan dahinya di atas tanah.
Adapun ketika kita membaca Al-Qur’an kita dianjurkan memiliki sikap yang istimewa dibandingkan dengan lainnya. Inilah nakna inti ayat di atas tentang betapa Al Qur’an mempunyai kedudukan yang mulia.
Sujud dalam ayat itu adalah sebuah kiasan tentang ketundukkan dan kekhusyukan yang harus diberikan kepada Al-Qur’an. Sedangkan yang dimaksud dengan sujud yang lazim kita dengar dan lakukan adalah ketika shalat. Dan disebutkannya sujud dalam ayat tadi dengan sebutan ‘iman’, hal itu menunjukkan ketinggian dan kedudukan shalat yang agung dalam Islam.
Intinya, nilai sujud itu berasal dari makna-makna yang mencakup makna yang melingkup anasir ketundukan, kekhusyukan, pengagungan, ketaatan dan lainnya. Ketundukan, pengagungan, kekhusyukan dan merendahkan diri adalah indikasi yang menunjukkan penyembahan pelakunya kepada pihak yang dijadikan obyek ibadahnya yakni Allah SWT. Dan sujud adalah gerakan besar yang menunjukkan makna-makna ibadah. Sebab, dalam sujud refleksi ketundukan terjadi secara sempurna.
Saat jidat, kening dan hidung mendekap tanah, maka anasir negatif, semisal kesombongan, akan luntur dan menghilang. Menempelnya kening dan hidung ke tanah, sebuah tempat yang selalu diinjak-injak oleh kaki, adalah kondisi kuat ketundukan dan kepasrahan pelakunya kepada zat yang ia sembah. Sujud hanya kepada Allah SWT, tidak boleh diberikan kepada yang lain. Karena itu, semua bentuk ketundukan kepada selain Allah adalah batil dan tidak sah.
Akan tetapi Banyak sekali orang yang bersujud, namun hakikatnya sujud mereka hanyalah sujud sebagai simbol. Suasana ketundukkan, kepatuhan, penghormatan, dan ketaatan hanya tampak dalam sebuah gerakan dan terbatas di masjid atau tempat shalat saja. Di luar lingkar sajadah shalat, barangkali masih bermaksiat, berdusta, menipu, mengkhianati, menzhalimi, mengurangi timbangan, berhasad, riya, sobong, takabbur bahkan masih bermesaraan dengan perbuatan tercela lainnya yang dibenci oleh Allah SWT. Sifat-sifat negatif tersebut adalah sifat yang sangat bertolak belakang dengan hakikat sujud itu sendiri.
Apabila perilaku kita masih menyimpan rasa seperti sikap tercela tersebut, maka semakin terang seakan kita menipu Allah, padahal tanpa kikta sadari justru kita menipu diri sendiri. Dan oleh Al-Qur’an erilaku ini ditendang sebagai orang munafik. Allah berfirman:
“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri sendiri sedang mereka tidak sadar”. (Al-Baqarah: 9).
Dan inilah sikap orang munafik yang sengaja hanya menampakkan gerakan (simbol) yang ruh nya jauh dan terpisah dari keyakinan mereka. Mereka melakukannya dengan penuh keterpaksaan, tanpa penghayatan, dan tanpa peleburan hati yang lebih mendalam.
Realitas ini akan menjadi sebuah kerugian yang sangat besar yang akan diderita oleh orang yang hanya merefleksikan sujud pada tempat shalat, di atas sajadah, masjid-masjid atau rumah-rumah saja.
Padahal hakikatnya, Allah selalu hadir di mana pun kita berada dan dalam kondisi apapun. Jika kita membatasi gerak diri untuk tunduk, patuh, taat, dan mengagungkan Allah hanya pada bentangan tikar sajadah saja, maka Allah pun akan membiarkan kita menjalani kehidupan ini dalam keadaan terbatas pula. NauzbillahOrang-orang yang tunduk dan patuh yaitu mereka yang benar benar merefleksikan sujud karena takut kepada Allah semata.
Sebab, takut kepada Allah merupakan kesempurnaan pengakuan terhadap kerajaan dan kekuasaan Allah serta takut akan kehendak Allah yang sangat luas tanpa batas. Perasaan takut dari seorang hamba kepada Allah SWT, bisa timbul karena beberapa sebab antara lain;
1. Perasaan yang timbul dari ketidakberdayaan seorang hamba dikrenakan ia tidak mampu berbuat apapun jika Allah berkehendak sesuatu kepadanya. Ini hampir mirip dengan takutnya seorang anak kepada orang tuanya. Atau takutnya seorang rakyat kepada pimpinannya.
2. Takut yang timbul dari rasa cinta. Yang diharapkan di sini agar setiap hamba hendaknya menghadirkan ketakutan kepada Allah pada setiap sujudnya dan setiap waktu. Ia khawatir jika Allah menyerahkan segala urusannya kepada dirinya sendiri dan menutup segala jalan atau sebab kemudahan baginya. Ini rasa takut yang biasanya dimiliki oleh seorang hamba yang telah berbuat baik kepada tuannya.
3. Rasa takut yang timbul dari ancaman. Rasa takut ini disitir oleh Allah dalam Al-Qur’an:
“Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah”. (Nuh: 13)
Maknanya adalah jika kita benar-benar merasa takut kepada Allah, jika kita benar-benar mencintai Allah dan jika kita benar-benar merasa tidak berdaya di hadapan ancaman dan teguran-Nya, niscaya kita akan takut.Dan perasaan takut ini kiranya akan mendorong kita untuk tunduk dan patuh atas segala perintahnya dan larangan-Nya dalam setiap dekap sujud kita kepada Allah ‘azawajalla.[]
Ditulis Oleh ; Juhaimi Bakri, Kepala Seksi Bina Haji dan Advokasi Haji Reguler Kanwil Kemenag Aceh